Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan

 

Pada hari Senin, 23 Juni 2025, sebuah pertemuan sederhana namun bermakna berlangsung di kantor DPP Partai Golkar. Delegasi perempuan dari Partai Keadilan Rakyat (KEADILAN) Malaysia hadir bukan untuk membahas kekuasaan atau strategi politik, melainkan membawa misi kemanusiaan— tentang nasib anak-anak imigran dan peran perempuan dalam diplomasi kawasan.

Pertemuan ini menjadi pengingat penting bahwa perempuan, dengan empati dan kepekaan terhadap keadilan sosial, mampu menghadirkan pendekatan baru yang lebih manusiawi dalam diplomasi luar negeri. Perempuan bukan figuran. Mereka adalah kekuatan substantif yang dapat mengarahkan perubahan, bukan hanya mengiringi arusnya.

Delegasi ini dipimpin oleh Yang Berhormat Puan Fadhlina Sidek, Menteri Pendidikan Malaysia saat ini, didampingi oleh 18 tokoh perempuan dari berbagai biro dalam KEADILAN. Mereka menyampaikan dua isu utama: pertama, kondisi anak-anak Indonesia di perbatasan Malaysia yang hidup dalam ketidakpastian hukum dan sosial; kedua, nasib perempuan dan anak-anak yang menjadi korban paling rentan dalam konflik global— khususnya di Palestina. Walau tidak dibahas panjang lebar, isu-isu ini disampaikan dengan ketulusan dan ketegasan yang langsung menyentuh inti.

Mewakili Ketua Umum Partai Golkar, Bapak Bahlil Lahadalia, saya menerima delegasi ini dan menyampaikan bahwa Partai Golkar membuka ruang kerja sama yang nyata dan berkelanjutan. Dunia hari ini membutuhkan pendekatan baru dalam diplomasi—yang tidak semata berorientasi pada kekuatan, tetapi pada keberpihakan dan kepedulian. Dan pengalaman menunjukkan, pendekatan semacam ini justru sering datang dari tangan perempuan.

Empati: Pendekatan yang Sering Dilupakan

Delegasi KEADILAN mengingatkan kita bahwa diplomasi tidak harus selalu berbicara tentang kekuasaan, kekuatan militer, atau perimbangan strategi global. Diplomasi bisa berangkat dari empati—dari upaya membela mereka yang tak bersuara, dari perhatian kepada kelompok yang paling terpinggirkan.

Mereka tidak hanya membawa nama partai, tapi membawa harapan: agar anak-anak migran tidak terus hidup sebagai “anak tanpa nama,” dan agar perempuan korban konflik tidak lagi menjadi sekadar angka dalam laporan krisis. Mereka menawarkan kerja sama konkret: forum perempuan lintas negara, pelatihan kepemimpinan perempuan, hingga pertukaran kebijakan yang berbasis nilai keadilan dan Islam yang rahmatan lil alamin.

Di sini kita melihat kekuatan khas perempuan: bukan sekadar gagasan ideal, tapi kemampuan untuk mengaitkan kebijakan dengan realitas hidup yang konkret. Perempuan sering lebih jernih dalam melihat dampak suatu keputusan terhadap masyarakat, terutama terhadap kelompok yang paling rentan.

Cermin untuk Indonesia

Apa yang ditunjukkan oleh perempuan Malaysia ini seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia. Kita kerap bicara tentang strategi luar negeri, tetapi terlalu sedikit melibatkan perempuan secara nyata dalam proses penyusunannya. Pertanyaannya: berapa banyak perempuan Indonesia yang benar-benar diberi ruang dalam pengambilan keputusan diplomatik tingkat tinggi? Apakah suara mereka cukup kuat untuk memengaruhi arah kebijakan?

Malaysia telah memberikan jawabannya. KEADILAN bukan hanya menempatkan perempuan sebagai pengisi slot kuota, tapi sebagai pengambil keputusan strategis. Indonesia seharusnya bisa bergerak lebih jauh. Kita punya warisan kuat: Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden perempuan pertama di Indonesia, yang telah membuktikan bahwa perempuan dapat memimpin bangsa besar ini dengan penuh martabat.

Namun, sejarah ini tidak boleh berhenti sebagai monumen. Pengalaman kepemimpinan perempuan harus menjadi titik tolak, bukan titik akhir. Ruang perempuan dalam diplomasi, politik, ekonomi, dan sektor strategis lainnya harus diperluas dan diperkuat dengan kebijakan nyata, bukan sekadar apresiasi simbolik.

Masa Depan Diplomasi yang Lebih Inklusif

Pertemuan ini membuka peluang besar. Partai Golkar akan melakukan kunjungan balasan ke Kuala Lumpur sebagai bagian dari penguatan hubungan antarpartai dan kerja sama regional berbasis nilai. Kami tidak datang sebagai pengamat, tetapi sebagai mitra sejajar yang ingin membangun diplomasi yang berakar pada nurani, bukan semata-mata kepentingan.

Di tengah dunia yang kian diguncang oleh konflik, perempuan tidak boleh hanya dilihat sebagai korban. Mereka adalah penjaga peradaban dan suara hati yang harus dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik. Perhatikan: bahkan dalam hukum perang sekalipun, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling harus dilindungi.

Indonesia sebagai bangsa besar memiliki tanggung jawab moral untuk menjadikan diplomasi sebagai alat membangun peradaban, bukan sekadar menjaga kekuasaan. Dan perempuan—baik dari Malaysia maupun dari Indonesia—harus menjadi bagian penting dari perjalanan itu.

Perempuan KEADILAN Malaysia telah memulai langkah ini dengan percaya diri. Kini saatnya Indonesia menyusul, bukan hanya dengan mendengar, tetapi dengan memberikan ruang dan kepercayaan lebih besar kepada perempuan untuk menentukan arah masa depan negeri ini.

Dan Saya Haqqul Yakin, Partai Golkar Sedang Berjalan di Jalur Itu.