Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan jadwal waktu keserentakan antara pemilu nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPD dengan pemilu lokal untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati/Walikota yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Putusan ini menegaskan kedudukan hukum yang jelas tentang pembentukan sistem pemilu yang lebih efektif dan berkelanjutan. Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa model keserentakan pemilu yang melibatkan pemilu nasional dan lokal dalam waktu bersamaan atau pemilu lima kotak suara seperti di Pemilu 2019 dan 2024, menyebabkan penumpukan beban yang signifikan pada penyelenggara dan pemilih. Hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas pemilu, menyulitkan pemilih dalam menentukan pilihan, dan juga melemahkan kelembagaan partai politik.

Sekalipun MK dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 menyatakan terdapat enam model keserentakan yang konstitusional salah satunya adalah serentak lima surat suara, namun MK menilai terdapat fakta objektif dari pemilu serentak lima kotak di Pemilu 2019 dan 2024 yang menghasilkan kompleksitas tata kelola pemilu yang perlu diperbaiki kedepan.

Meskipun putusan tersebut sudah dikeluarkan lima tahun yang lalu, MK mencatat bahwa pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan signifikan terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada. Ini terlihat jelas dalam penyelenggaraan pemilu 2024, yang tetap mengadakan pemilu lima kotak pada 14 Februari, diikuti dengan pilkada serentak pada 27 November 2024, tanpa ada pengaturan baru yang mengakomodasi perubahan terhadap pilihan model keserentakan yang ditawarkan oleh MK.

MK juga mengidentifikasi sejumlah masalah dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang terjadi pada tahun yang sama. Penumpukan tahapan ini berisiko mengganggu kualitas pemilu mulai dari kompleksitas dalam menjalankan tahapan pemilu oleh penyelenggara pemilu, menambah beban pada partai politik yang kesulitan mempersiapkan calon di berbagai level sehingga partai politik cenderung mempertimbangkan calon berdasarkan popularitas saja yang kemudian berimplikasi terhadap pelembagaan partai politik.

Selain itu, masalah lain juga berkaitan dengan kebingungan di kalangan pemilih yang harus memilih banyak calon dengan lima kotak suara dan kejenuhan di masyarakat pada tahapan Pilkada. Semua hal ini berpotensi melemahkan keputusan pemilih dan kualitas demokrasi yang dihasilkan.

MK menegaskan bahwa untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat, perlu dilakukan penyesuaian lebih lanjut terkait jadwal pemilu. MK merekomendasikan agar pemilu serentak untuk DPR, DPD, dan Presiden dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah ada. namun dengan pemisahan dari pemilu kepala daerah dan DPRD yang akan dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan presiden dan anggota DPR.

Pilihan jeda waktu 2 atau 2,5 tahun ini untuk meminimalisir adanya himpitan tahapan sekaligus terdapat jeda waktu yang cukup bagi partai politik dalam menyiapkan kontestasi di pemilu lokal. Namun demikian, MK menekankan bahwa pengaturan masa transisi bagi pemilu kepala daerah dan DPRD perlu dilakukan dengan hati-hati, karena dampaknya akan sangat signifikan terhadap sistem politik dan pemerintahan Indonesia

Segera Revisi UU Pemilu dan Pilkada

Revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Namun hingga saat ini belum juga dimulai pembahasannya, Oleh sebab itu, adanya Putusan MK ini harus menjadi momentum untuk menyegerakan pembahasan revisi undang-undang pemilu dan undang-undang pilkada.

Mahkamah Konstitusi mengingatkan pentingnya revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang lebih komprehensif. MK menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU untuk melakukan “constitutional engineering” dalam rangka memperbaiki sistem pemilu yang ada, demi memastikan pelaksanaan yang lebih efisien dan sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan putusan ini, MK berharap agar proses demokrasi Indonesia dapat berjalan lebih lancar, efisien, dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kebutuhan nyata baik bagi penyelenggara maupun pemilih.

Menanggapi hal ini, Perludem mengapresiasi serta menghormati putusan MK ini dan mendorong agar pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada segera dilakukan secara terintegrasi dengan metode kodifikasi dan mematuhi putusan MK untuk mengubah desain keserentakan pemilu di Indonesia untuk Pemilu 2029 mendatang menjadi pemilu serentak nasional untuk pemilihan presiden/wakil presiden, DPR RI, dan DPD dan pemilu serentak lokal yang terdiri atas pemilihan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemilihan gubernur dan bupati/walikota dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun.

Perludem menilai bahwa kedua undang-undang tersebut perlu disusun dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi, untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan menciptakan sistem pemilu dan pilkada yang lebih sistematis serta mudah dipahami. Hal ini diharapkan dapat menciptakan keseragaman dan efisiensi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada, serta menjaga integritas dan kualitas demokrasi Indonesia ke depannya. (rls/ret)