Oleh : Fikram S. Minangkabau — Miris!! Pengetahuan dan analisis dinamika dalam aksi demonstrasi yang disebut-sebut September Berdarah. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, justru memerintahkan Kapolri untuk memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada aparat kepolisian yang konon menjadi korban. Pernyataan Prabowo Subianto selaku Presiden Republik Indonesia justru membelokkan harapan bangsa. Rakyat membutuhkan transparansi dalam kepemimpinan sosok Presiden dalam aspek tata kelola pemerintah dan cita-cita generasi.

Negara saat ini seolah hadir untuk melindungi para elit ketimbang masyarakat. Disaat masyarakat, meronta-ronta menyuarakan ketidakadilan pada rezim yang tampak kembali pada Orde Baru 1998, Presiden secara terang-terangan memberikan pernyataan yang keluar jauh dari koridor harapan rakyat.

Ini bukan soal siapa yang menjadi korban dalam tragedi berdarah itu, melainkan keberpihakan sosok pemimpin negara terhadap rakyatnya. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengingatkan kita pada pesan yang disampaikan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Pesan yang disampaikan Bung Karno kini terjadi selama beberapa dekade terakhir. Rakyat tidak lagi melawan dan mengusir penjajah kolonial dan sebagainya, namun kini bangsa Indonesia menjadi korban permainan elit politik hingga saling berlawanan.

Meski demikian, Bung Karno juga pernah menegaskan dalam pidatonya bahwa, “Kekuasaan tertinggi ada pada tangan rakyat, presiden bukan siapa-siapa dan bisa diganti kapan saja.” Alih-alih menjadi acuan bagi para pejabat negara, Presiden di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto justru lebih memilih memberikan pangkat luar biasa kepada anggota kepolisian karena disebut menjadi korban dari amukan masyarakat dalam aksi demonstrasi.

Dulu, para keamanan negara diberikan berbagai penghargaan yang sangat luar biasa dan dikenang sebagai tokoh nasional lantaran berhasil mengusir para penjajah dari negara asing. Berbeda dengan situasi saat ini, rezim Prabowo Subianto justru memberikan penghargaan luar biasa kepada aparat kepolisian karena berhasil memukul mundur amukan masyarakat dan berhasil membunuh masyarakat.

Fakta yang terjadi, belum lama ini rakyat Indonesia dihebohkan dengan tragedi seorang Ojol yang dilindas Mobil Brimob pada saat aksi unjuk rasa di seputaran Kantor DPR RI, Jakarta. Dalam insiden tersebut, Presiden hingga Kapolri dengan lemah lembutnya menyampaikan permohonan maaf tanpa memikirkan dampak di balik tragedi pembunuhan itu.

Rakyat ditindas selama beberapa dekade terakhir. Belum puas, para anjing-anjing negara, para pembantu masyarakat justru kembali menjadi pembunuh berdarah dingin. Tapi ini bukan pembunuh sejati yang membunuh para penjahat yang coba menindas rakyat, melainkan menjadi pelaku pembunuh rakyatnya sendiri.

Masyarakat berharap, tragedi Ojol yang dilindas Mobil Brimob itu bakal disorot oleh Presiden agar terjadinya reformasi Polri. Harapan itu putus usai pernyataan Presiden yang memerintahkan Kapolri memberikan kenaikan pangkat dan penghargaan luar biasa kepada anggota polisi.

Mereka membunuh masyarakat, mereka dengan tega menindas rakyat, mereka nekat menjadi pembunuh demi melindungi para elit politik, mereka menjadi korban dari permainan elit politik, mereka diberi penghargaan usai menghilangkan banyak nyawa.

Indonesia Gelap, tampaknya kalimat yang pas untuk rezim kali ini. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, tata kelola pemerintahan mulai terlihat otoriter dan militerisme pun tak kalah ditampilkan, menakut-nakuti rakyat hingga menjadi pelaku pembunuhan.

Merdeka atau Mati

Slogan dan pekik semangat yang diucapkan oleh Bung Tomo, seorang tokoh penting dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, untuk membakar semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan tentara Sekutu dan Belanda (NICA) demi mempertahankan kemerdekaan negara. Slogan ini menjadi kekuatan dan tekad besar yang mendorong para pejuang untuk berjuang hidup atau mati demi meraih kemerdekaan seutuhnya.

Slogan Bung Tomo sebagai bentuk semangat perjuangan mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Lagi-lagi, slogan itu kini disulap oleh para elit negara agar para anjing-anjing negara sebut saja Polisi. Iya, merekalah yang dimaksud karena menjadi pelaku pembunuhan terhadap rakyat.

Slogan itu dipakai membakar semangat polisi untuk melawan masyarakat dan menjadi pelaku utama pembunuhan lalu diberikan kenaikan pangkat, penghargaan luar biasa.

Apakah Indonesia sudah merdeka seutuhnya? Pertanyaan itu harus dan wajib dipertanyakan, manakala masyarakat justru menjadi budak di negerinya sendiri, dikuasai negara asing, ditindas negara sendiri dan diperbudak oleh negara luar.

Apakah Indonesia Sudah Merdeka Seutuhnya?

Pertanyaan itu harus dan wajib dipertanyakan, manakala masyarakat justru menjadi budak di negerinya sendiri, dikuasai negara asing, ditindas negara sendiri dan diperbudak oleh negara luar.

Hal itulah yang tidak inginkan Tan Malaka, Bapak Madilog yang secara tegas menginginkan agar bangsa Indonesia merdeka secara utuh tanpa adanya penindasan, perbudakan dan pembodohan dengan dalilh yang menyesatkan.

“Kemerdekaan Sejati Tidak Hanya Berarti Bebas dari Kekuasaan Asing atau Penjajah Secara Fisik, Tetapi juga Pembebasan Pikiran dari Segala Bentuk Penindasan, Kebodohan, dan Fanatisme Buta”.

Hal itu Ia tegaskan sebagai tolak ukur bahwa bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang memiliki kemampuan berpikir secara bebas, kritis, dan berlandaskan pada kebenaran, bukan sekadar tunduk pada doktrin yang menyesatkan. Namun, Negara seolah-olah hadir untuk menghalangi kecerdasan bangsa dan tidak menginginkan bangsa ini merdeka secara pikiran dan akal sehat, tetapi bangsa ini harus tunduk pada setiap rejim yang menyesatkan.

Polisi Diberikan Penghargaan Luar Biasa usai Membunuh Rakyat

Para aparat Kepolisian diberikan kenaikan pangkat, penghargaan luar biasa karena disebut menjadi korban dalam aksi dekonsentrasi mahasiswa yang mengkritisi kebijakan negara yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Dalam tragedi itu, yang menjadi korban hingga merenggut nyawa adalah masyarakat, bahkan banyak yang mengalami luka, hingga patah kaki.

Pembunuhan pun terjadi dalam tragedi tersebut, dimana seorang ojol dilindas mobil Brimob, lalu Kapolri meminta, Presiden dengan tegas dan ambisinya, mengeluarkan pernyataan dan memerintahkan Kapolri agar segera memberikan Kenaikan Pangkat, Penghargaan Luar Biasa. Seolah mereka berhasil menjadi penjahat sejati karena berhasil menindas rakyat dan membunuh masyarakat.