Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) meminta DPR dan Pemerintah mengatur masa transisi untuk masa jabatan kepala/wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil Pemilu 2024 setelah pemilu lokal dipisahkan dari pemilu nasional mulai tahun 2029.
Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa pembentuk undang-undang perlu melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) pasca-Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini.
“Oleh karena masa transisi/peralihan ini memiliki berbagai dampak atau implikasi, maka penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dengan melakukan rekayasa konstitusional berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional,” kata Saldi.
Dalam putusan dimaksud, Mahkamah memutuskan bahwa pemilu lokal atau daerah diselenggarakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan setelah pemilu nasional rampung.
Dijelaskan Saldi, rampungnya pemilu nasional dapat dihitung dari waktu pelantikan masing-masing jabatan politik yang dipilih dalam pemilu nasional tersebut.
Adapun pemilu nasional ialah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden, sementara pemilu lokal atau daerah terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
“Peristiwa pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau pelantikan presiden/wakil presiden dapat diposisikan sebagai akhir dari tahapan pemilu sebelumnya, in casu (dalam hal ini) pemilu anggota DPR, dan anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” kata Saldi.
Dalam amar putusan, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Pada diktum lainnya, MK menyatakan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.”
Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden.“
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi segera menggelar sidang Pengucapan Putusan terhadap Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 perihal permohonan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015), Kamis (26/6) pukul 13.30 WIB.
Adapun perkara a quo dimohonkan oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017, dan Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015. Seluruh pasal pada dasarnya mengatur perihal keserentakan Pemilu [termasuk Pilkada]. Dalam permohonan awal, Pemohon telah menjelaskan bahwa ketentuan keserentakan Pemilu berdampak signifikan terhadap sistem kepartaian, sistem presidensial, dan perilaku partai politik serta pemilih.
Pemohon berpendapat bahwa pengaturan tersebut membuat partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kaderisasi sehingga melemahkan pelembagaan partai politik itu sendiri. Selain itu, Pemohon memberikan contoh bahwa maraknya pencalonan dari kalangan pemilik modal, tokoh populer, dan individu kaya terjadi akibat minimnya kesempatan bagi partai politik untuk melakukan kaderisasi anggota legislatif secara bersamaan di semua level. Situasi tersebut dipandang Pemohon sebagai praktik rekrutmen politik yang transaksional dan tidak demokratis.
Untuk itu, Pemohon mendorong format Pemilu serentak yang berbeda, yaitu pemilihan Presiden [dan Wakil Presiden], anggota DPR, dan anggota DPD secara serentak, lalu pemilihan Gubernur [dan Wakil Gubernur], Bupati [dan Wakil Bupati], Walikota [dan Wakil Walikota], anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota secara serentak pada 2 tahun setelahnya. Pemohon berkeyakinan adanya jeda 2 tahun antara “Pemilu Nasional” dan “Pemilu Daerah” dapat menjadi solusi pelembagaan dan kaderisasi partai politik [di Indonesia].
Sidang perdana terhadap perkara a quo dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan telah digelar MK pada (4/10), dimana Hakim Konstitusi Arsul Sani menyoroti argumentasi Pemohon bahwa pemilu serentak lima kotak melemahkan partai politik. Arsul menilai hal tersebut perlu diperjelas dengan hasil studi. Selanjutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa perkara a quo berkaitan dengan Putusan 55/PUU-XVII/2019 yang juga menguji konstitusionalitas aturan keserentakan pemilu. Pemohon pun telah menanggapi hal ini dalam sidang acara Perbaikan Permohonan (17/10). Melalui kuasa hukumnya, Fadli Ramadhanil, disampaikan bahwa batasan konstitusional yang diberikan MK melalui putusannya belum cukup memberikan kepastian hukum atas format keserentakan pemilu.
Sidang pleno perdana terhadap perkara a quo telah digelar MK pada (10/12) lalu dimana DPR mengatakan bahwa justru dengan adanya pemilu serentak, partai politik harus lebih profesional dan strategis dalam menyusun daftar calonnya dengan mempertimbangkan integritas, kompetensi, dan loyalitas para calon terhadap visi misi partai. Lebih lanjut, terhadap dalil Pemohon mengenai perlunya jeda waktu dua tahun antara pemilu nasional dan pemilu daerah, DPR menilai perlu melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap pelaksanakan Pemilu Serentak 2024.
Dalam kesempatan yang sama, telah hadir Pemerintah diwakili Kementerian Dalam Negeri yang menerangkan bahwa pelaksanaan pemilu serentak menjadi bagian penyelarasan rencana pembangunan nasional dengan pembangunan daerah. Sehingga, kepala daerah yang terpilih setelah pemilihan Presiden dapat menyelaraskan RPJMD dengan RPJMN.
Terakhir, sebelum menjatuhkan putusan, MK telah menggelar sidang dengan agenda Mendengar Keterangan Ahli Pemohon pada (18/12). Mantan Anggota DKPP Didik Supriyanto selaku ahli yang dihadirkan Pemohon menerangkan bahwa ada dua jenis pemilu dalam sistem presidensial yaitu pemilu legislatif dan pemilu eksekutif yang penjadwalannya perlu diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. Dalam pelaksanaan sistem presidensial ini, menurut Didik, telah ditemukan permasalahan sistem kepartaian dimana presiden terpilih atau pejabat eksekutif terpilih tidak dapat mayoritas dukungan terpilih, dan pemerintah level pusat tidak sebangun dengan pemerintah level daerah.
Dalam pandangan Didik, pengurangan besaran daerah pemilihan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Didik juga menyampaikan bahwa selama 30 tahun terakhir, tidak ada kesempatan bagi para pemilih untuk mengevaluasi kinerja partai politik. Jeda waktu dua tahun antara pemilu nasional dan pemilu daerah dapat memberi kesempatan konsolidasi
Tinggalkan Balasan