DETIKTV.CO.ID,HALBAR — Dalam sebuah lanskap bahari yang semestinya menghubungkan kehidupan, bukan mencekik kantong rakyatnya, suara keluh dari masyarakat Jailolo-Ternate akhirnya menggema hingga ke telinga tertinggi di Maluku Utara. Tarif speedboat yang tembus Rp100.000 per kepala sebuah harga yang jauh melampaui batas wajar menurut Surat Keputusan resmi pemerintah provinsi telah memantik amarah Gubernur Sherly Tjoanda.
Gubernur perempuan pertama Malut itu tidak sekadar bicara dalam tataran basa-basi birokrasi. Di hadapan sejumlah awak media, usai menghadiri kegiatan pramuka di Desa Acango, Kecamatan Jailolo, Selasa (22/7), Sherly menegaskan: “Laporkan! Jika terbukti, izinnya kami cabut. Tanpa kompromi.” Sebuah pernyataan yang berdentum seperti palu hakim di ruang sidang publik.
Dalam Surat Keputusan Gubernur Malut, tarif resmi speedboat rute Jailolo Ternate dan sebaliknya telah dipatok maksimal Rp75.000 per penumpang. Namun, realitas di dermaga berkata lain. Harga tiket masih dipatok Rp100.000, bahkan mencapai Rp103.000, dengan dalih tambahan biaya karcis pelabuhan. Siasat klasik yang menyelipkan pungli dalam selimut administrasi.
Gubernur Sherly pun melangkah lebih jauh. Ia meminta Ketua Asosiasi Speedboat untuk tidak sekadar menghimbau, tapi menggandakan pengawasan terhadap motoris mereka yang mengemudi kapal cepat agar mencantumkan harga resmi di setiap tiket yang dijual. “Ini bukan semata urusan harga. Ini tentang melindungi hak rakyat atas akses laut yang adil dan terjangkau,” imbuhnya dengan nada tegas.
Langkah tegas ini bukan sekadar simbol populisme atau retorika politis. Ia mencerminkan resistensi negara terhadap ekonomi predatorik yang berkedok jasa transportasi. Tarif yang mencekik bukan sekadar angka ia adalah bentuk kekerasan struktural terhadap masyarakat pesisir yang mengandalkan jalur laut sebagai nadi mobilitas dan penghidupan.
Menariknya, praktik pelanggaran ini berlangsung setelah SK Gubernur diterbitkan. Artinya, ada pengusaha yang sengaja menutup mata terhadap perintah resmi, atau barangkali lebih sinis lagi menganggap keputusan pemerintah hanyalah kertas tanpa taring. Namun kali ini, Sherly ingin membuktikan bahwa pemerintah provinsi tidak sedang bermain-main.
Dengan menegaskan sanksi pencabutan izin tanpa toleransi, Gubernur Sherly tidak hanya merespon keluhan rakyat. Ia sedang mengirim pesan ke seluruh penjuru Maluku Utara: bahwa kesewenangan ekonomi akan ditenggelamkan.
Kini bola panas ada di tangan publik. Pemerintah membuka ruang pelaporan. Tetapi, seberapa siap masyarakat melawan permainan tarif di lapangan? Dan seberapa konsisten Pemprov menindak jika pengusaha besar ikut bermain?
Satu hal pasti, lautan Maluku bukan tempat bagi mereka yang menjadikan kebutuhan publik sebagai ladang peras.
Tinggalkan Balasan