DETIKTV.CO.ID, TERNATE — Di tengah geliat pembangunan kota dan narasi kemajuan yang terus digaungkan, angka stunting di Kota Ternate justru memperlihatkan sebuah paradoks yang menggugah nurani. Berdasarkan data dari aplikasi Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM), Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ternate mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, jumlah balita yang mengalami stunting melonjak menjadi 412 anak atau 4,1 persen.

 

 

Angka ini bukan sekadar statistik, tapi alarm yang lebih nyaring dari sirine ambulans; sebab tahun sebelumnya, jumlah stunting “hanya” berada di angka 303 anak atau 3,02 persen.

 

Di balik angka-angka itu, ada tubuh-tubuh kecil yang tumbuh tidak semestinya, terjerat oleh kegagalan struktural dalam memenuhi hak dasar: gizi. Meski peningkatan terjadi secara agregat, Dinkes menyebutkan bahwa kasus stunting tidak menyebar merata. Di beberapa wilayah, grafiknya fluktuatif. Misalnya, Puskesmas Sulamadaha mencatat penurunan dari 33 menjadi 28 kasus. Namun Puskesmas Siko justru meningkat dari 39 menjadi 41, Bahari Berkesan melonjak drastis dari 9 menjadi 34, dan Kalumpang naik dari 40 menjadi 41.

 

Loncatan yang mencolok juga terlihat di sejumlah wilayah lain: Puskesmas Kota dari 40 menjadi 69 kasus, Kalumata dari 38 menjadi 42, Gambesi dari 7 menjadi 27, Perawatan Moti dari 21 menjadi 47, dan Jambula dari 38 menjadi 41. Data ini membentuk pola yang bukan sekadar angka naik-turun, tapi cermin dari kesenjangan sistemik dalam layanan dasar kesehatan dan gizi.

 

Rully Pratama Agung, staf gizi Dinas Kesehatan Kota Ternate, tak menampik adanya peningkatan kasus stunting. Dalam wawancara di Kantor Dinkes, Selasa (22/7/2025), ia menjelaskan bahwa seluruh langkah penanganan telah dirancang mengikuti petunjuk teknis Kementerian Kesehatan, arahan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan kebijakan Wali Kota Ternate. Namun, teknis tak selalu berbanding lurus dengan hasil. “Kami terus evaluasi dan tindak lanjut rutin, baik di tingkat puskesmas maupun dinas,” ujar Rully dengan nada optimis yang tak menutupi nada prihatin.

 

Dalam pengakuannya, ada tantangan besar yang tak bisa disederhanakan menjadi sekadar kesalahan teknis. Ternate, sebagai pusat aktivitas Maluku Utara, kerap menjadi tujuan rujukan berobat dari wilayah sekitar. Aliran keluar-masuk pasien ini mempersulit validitas data. Sementara itu, bentang geografis yang sulit dijangkau dan tingginya biaya hidup membuat akses terhadap gizi seimbang menjadi kemewahan yang tidak semua keluarga bisa beli.

 

Rully menceritakan satu kasus yang menggambarkan kompleksitas situasi seorang bayi dari Pulau Hiri awalnya dalam kondisi sehat, namun setelah bepergian ke luar pulau dan kembali, kondisinya berubah drastis. “Hal seperti ini menyulitkan pemantauan. Anak bisa sehat di satu fase, lalu kembali dalam kondisi memprihatinkan,” katanya.

 

Masalah stunting bukan hanya urusan nutrisi, tapi juga pola asuh dan pengetahuan orang tua, khususnya ibu. Rully menekankan pentingnya pemberian ASI eksklusif setiap dua jam untuk bayi usia 0-6 bulan, diikuti oleh MP-ASI yang sesuai umur. Sayangnya, realitas sosial-ekonomi membuat banyak ibu lebih memilih makanan murah yang mengenyangkan, bukan yang bernutrisi. “Masih banyak yang mengejar kenyang daripada gizi. Padahal pola makan seperti itu berkontribusi besar terhadap stunting,” ujarnya.

 

Stunting, lanjutnya, dimulai sejak masa dalam kandungan. Ibu hamil yang kurang gizi rentan mengalami anemia, mual berkepanjangan, bahkan melahirkan bayi dengan berat badan di bawah standar. Dengan kata lain, stunting bukan hanya soal anak balita hari ini, tapi juga tentang ibu-ibu yang kekurangan nutrisi kemarin.

 

Lalu, apa yang dilakukan pemerintah? Dalam jangka pendek, Dinkes menjalankan program edukasi tentang makanan tambahan sebelum kehamilan, imunisasi, dan pemberian vitamin A untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak. Namun solusi jangka panjangnya memerlukan kerja sosial yang lebih dalam: perubahan perilaku. Ini ditempuh lewat konseling gizi, pendampingan remaja dan calon pengantin, serta penguatan peran posyandu.

 

Namun pertanyaannya cukupkah intervensi ini bila tak dibarengi perubahan sistemik dalam akses pangan dan pemerataan ekonomi? Bukankah stunting juga adalah persoalan kelas sosial, di mana kemiskinan adalah komorbid utama dari gizi buruk?

 

“Kami percaya, pola asuh adalah kunci. Bayi harus mendapat perhatian penuh dari ibunya, bukan hanya dalam pelukan, tapi juga dalam isi piring makannya,” pungkas Rully.

 

Ternate mungkin tengah menata wajah kotanya agar lebih bersinar, tapi tubuh-tubuh kecil yang kurus dan pendek itu adalah jejak yang tak bisa ditutupi oleh cat bangunan atau lampu jalan baru. Mereka adalah pengingat bahwa pembangunan sejati tidak bisa diukur dari beton, tetapi dari tinggi badan anak-anak kita dan tinggi harapan yang menyertainya.