DETIKTV.CO.ID, TERNATE– Langkah Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara yang secara sepihak memasang plang peringatan keras di lahan sengketa Kelurahan Ubo-Ubo, Ternate Selatan, menuai sorotan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Kota Ternate, Kamis,(24/07/2025).
Tindakan itu dinilai bukan hanya terburu-buru, tetapi juga mengingkari semangat penyelesaian yang adil, dialogis, dan menjunjung tinggi asas perlindungan hukum bagi warga.
Padahal, sebelumnya sempat terbangun harapan. LBH Ansor bersama Polda Malut dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maluku Utara duduk satu meja dalam forum audiensi resmi.
Dalam forum itu, Kabidkum Polda menyatakan kesiapan membuka ruang mediasi dengan warga yang telah lama menghuni lahan tersebut. Namun janji itu seolah berubah angin hanya dalam hitungan hari, Polda melayangkan somasi ketiga dan menancapkan plang bernada ancaman hukum kepada warga.
“Ini bentuk inkonsistensi sikap institusi negara. Komitmen membuka ruang dialog seharusnya menjadi awal rekonsiliasi, bukan berubah menjadi alat tekanan psikologis,” ungkap perwakilan LBH Ansor.
Plang tersebut mencantumkan pasal-pasal pidana yang berat, Pasal 385 KUHP (penyerobotan tanah), Pasal 167 KUHP (memasuki pekarangan tanpa izin), serta Perppu No. 51 Tahun 1960. LBH Ansor melihat pendekatan ini lebih mencerminkan wajah koersif negara ketimbang semangat konstitusional dalam perlindungan warga negara.
“Negara semestinya hadir sebagai pengayom, bukan menggiring rakyatnya ke sudut gelap ancaman hukum tanpa transparansi dan proses yang adil,” tegas mereka.
Tak berhenti di situ, LBH Ansor juga menggugat dasar klaim Polda atas lahan yang disengketakan. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 3 Tahun 2006 yang dipegang Polda Malut, menurut mereka, menyimpan cacat hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip agraria nasional, lembaga negara tidak berwenang memiliki tanah dengan status hak milik.
Mereka merujuk secara spesifik pada:
Pasal 45 ayat (1) dan (2) PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Pasal 1 angka 2 dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang mengatur bahwa badan-badan negara hanya dapat diberikan Hak Pakai, bukan Hak Milik.
“Klaim Polda atas tanah itu harus diuji secara hukum terlebih dahulu. Tidak adil jika klaim sepihak dijadikan dasar untuk mengintimidasi warga.
Sebagian besar warga Ubo-Ubo telah bermukim di atas tanah tersebut selama bertahun-tahun. Mereka bukan sekadar pengokupasi anonim, tetapi bagian dari denyut kehidupan Kota Ternate. Menyikapi hal ini, LBH Ansor menekankan bahwa setiap bentuk pengosongan lahan harus diawali melalui proses pengadilan, bukan dengan tekanan sepihak yang mencederai hak-hak sipil.
“Warga bukan pelanggar hukum, mereka adalah korban dari sistem pertanahan yang tidak transparan,” ujar Jul, Ketua LBH Ansor.
Dalam pernyataannya, LBH Ansor juga mendorong Pemerintah Kota Ternate dan BPN Maluku Utara untuk tidak menjadi bagian dari ketimpangan ini. Mereka dituntut untuk bersikap netral, jernih, dan adil bukan tunduk pada tekanan institusi vertikal mana pun yang berpotensi memecah belah masyarakat.
“Kehadiran negara dalam konflik agraria harusnya sebagai penenang, bukan pemantik. Ketika kekuasaan berpihak, maka hukum menjadi alat, bukan lagi keadilan,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan