DETIKTV.co.id, JAKARTA – Kualitas pendidikan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang notabenenya merupakan ibukota dan sedang dipersiapkan menjadi ‘kota global’ masih jauh dari kata baik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta tahun 2023 memperlihatkan bahwa sebanyak 81% warga Jakarta masih berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ke bawah.
Sekretaris Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Justin Adrian Untayana, berpendapat bahwa kualitas pendidikan Jakarta yang masih dominan menghasilkan lulusan SMA ke bawah itu juga memiliki kaitan dengan kemampuan para pengajarnya. Data Dinas Pendidikan (Disdik) DKI menunjukkan bahwa hanya 34,29% guru di Jakarta yang lulus uji kompetensi pada tahun 2022.
“Tidak lelah-lelahnya kami mengingatkan bahwa hanya 34,29% guru di Jakarta yang lulus uji kompetensi pada 2022 lalu. Dengan kata lain, tidak lebih dari setengahnya punya kualifikasi untuk memberikan pengajaran bermutu kepada anak-anak kita di sekolah,” katanya.
“Kondisi ini dapat mengakibatkan para murid mengalami kesulitan saat akan naik ke jenjang pendidikan berikutnya. Bilamana para peserta didik ini tidak mendapatkan pengajaran materi-materi dasar yang baik, tidak heran apabila anak-anak kita kesulitan memahami bahan-bahan pengajaran yang lebih rumit lagi setelah lulus SMA,” lanjutnya.
Sebagai rinciannya, data BPS Jakarta 2023 yang melakukan survei terhadap penduduk dengan usia 15 tahun ke atas menunjukkan sebanyak 3.46% warga tidak memiliki ijazah. Sementara itu, 10.86% memegang ijazah Sekolah Dasar (SD). Kemudian, 18.48% nya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selanjutnya, 49.18% adalah lulusan SMA. Terakhir, hanya 18.02% warga Jakarta yang berhasil lulus dari Perguruan Tinggi (PT).
Justin juga mengatakan bahwa kurikulum yang sudah usang membutuhkan pemutakhiran ulang agar peserta-peserta didik bisa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman sesuai dengan kebutuhan industri di Jakarta.
“Lepas dari masalah kualifikasi guru, Jakarta juga menghadapi persoalan kurikulum. Mestinya, bahan-bahan ajar di sekolah, terutama sekolah-sekolah negeri, sudah memuat materi yang diperlukan oleh sektor industri dewasa ini,” ujarnya.
“Perekonomian di Jakarta ini sudah banyak beralih ke sektor jasa dan teknologi. Perusahaan-perusahaan yang buka di sini bukan lagi industri manufaktur yang dapat menyerap tenaga kerja secara masif, tapi perusahaan-perusahaan teknologi yang membutuhkan pekerja dengan kualifikasi lebih tinggi dari lulusan SMA. Demikian, kurikulum di sini juga membutuhkan pemutakhiran,” tegasnya.
Bilamana lembaga pendidikan di Jakarta tidak mampu melakukan pemutakhiran kurikulum, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pengangguran akan membludak karena peserta-peserta didiknya kurang kompetitif.
“Risikonya apabila kita tidak segera melakukan pemutakhiran kurikulum adalah para peserta didik menjadi tidak kompetitif. Jika anak-anak kita bermutu rendah, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan dan akhirnya pengangguran malah membludak,” tuturnya.
Dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lapangan pekerjaan terkini di Jakarta, Justin berpendapat bahwa ke depannya pendidikan di Jakarta harus bisa mencetak bibit unggul tenaga-tenaga profesional.
“Memang untuk menjadi profesional dibutuhkan pendidikan jenjang universitas, akan tetapi kualitas pendidikan yang buruk di tingkat SD-SMA akan menyulitkan tingkat kecerdasan anak-anak kita untuk memasuki universitas unggul dan dunia profesional yang sesungguhnya kelak.” tutupnya.
Tinggalkan Balasan