Oleh: M. Reza Prananda – Ketua Umum HMI Komfak Syariah, Koordinator Komisariat PTIQ-IIQ Cabang Jakarta Selatan

Jakarta Selatan kini tak sekadar menjadi simbol modernitas dan hunian kaum mapan, tapi juga berubah menjadi episentrum hiburan malam yang tak pernah tidur. Dari kilau lampu Valhalla di kawasan Senopati, hentakan musik dari Bmart di Kemang, hingga padatnya lalu lintas malam di Blok M, semuanya membentuk wajah baru kota yang penuh warna. Namun di balik keramaian itu, muncul pertanyaan besar: di mana sebenarnya posisi hukum dalam mengontrol geliat industri hiburan malam yang terus melaju tanpa rem?

Tak bisa dipungkiri, banyak tempat hiburan malam yang beroperasi di luar batas waktu yang ditentukan, bahkan tanpa izin yang sah. Padahal, regulasi mengenai operasional tempat hiburan malam sudah sangat tegas.

Dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata, dijelaskan bahwa usaha hiburan malam seperti diskotek, klub malam, bar, dan karaoke hanya boleh buka hingga pukul 02.00 WIB. Bahkan pada bulan Ramadan atau hari besar keagamaan, jam operasional bisa dibatasi lebih ketat atau bahkan ditutup total. Jika tempat-tempat ini tetap beroperasi melewati batas waktu, apalagi tanpa izin, maka itu jelas merupakan pelanggaran hukum yang semestinya tidak bisa ditoleransi.

Tentunya ini menimbulkan tanda tanya: apakah para penegak hukum tidak tahu, atau sengaja membiarkannya?

Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, pernah menegaskan:
“Kegiatan hiburan malam harus tetap berada dalam koridor hukum. Jika ada pelanggaran, maka penegakan hukum harus tegas dan tidak pandang bulu.”
(Tempo.co, 2023).

Namun kenyataannya, suara masyarakat yang mengeluhkan kebisingan, miras ilegal, dan dugaan peredaran narkoba, nyaris tak terdengar. Razia hanya terjadi sesekali, dan ironisnya, tempat-tempat kecil yang justru sering menjadi sasaran. Sedangkan yang besar, seakan dilindungi oleh tembok tak kasat mata.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa praktik suap dan permainan izin bukan cerita baru.

Najwa Shihab dalam program Mata Najwa pernah berkata dengan tajam:
“Hukum seringkali kalah oleh lobi dan amplop. Di negeri ini, uang masih bisa membeli waktu, bahkan keadilan.”
(Mata Najwa, Episode “Negeri Lobi dan Kompromi”, 2021).

Kalau situasi ini terus dibiarkan, maka kita sama saja sedang merawat ketidakadilan dalam sistem hukum kita sendiri. Kepercayaan publik akan runtuh, dan hukum hanya akan jadi formalitas kosong yang tak lagi menakutkan pelanggar.

Melihat kondisi ini bukan cuma soal pengawasan yang lemah, tapi lebih dalam dari itu tentang rusaknya marwah hukum yang terkesan pilih kasih. Mereka yang punya kuasa dan uang bebas melanggar, sementara yang kecil cepat dijatuhkan. Kalau hukum bisa dinegosiasikan dengan amplop, maka Jakarta Selatan hanya akan jadi panggung kepalsuan: tampak mewah di luar, tapi rapuh di dalam.