‎Oleh: Wahyu Muhlis –‎ Di sudut Kampus Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, di antara hiruk-pikuk lalu lintas mahasiswa yang tergesa menuju kelas, berdirilah sebuah kedai kopi di sudut Kampus yang namanya kian menjadi perbincangan: Caffe Kopiam.

Tempat ini bukan sekadar lokasi menyeruput espresso atau latte, melainkan ruang sosial di mana ide bertemu, beradu, dan terkadang berbenturan. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, Kopiam telah menjadi habitus baru yang membentuk “arena pertarungan simbolik” mahasiswa/i dan akademisi. Ia bukan sekadar meja kayu, kursi sandar, dan aroma kopi, tetapi medan wacana yang menuntut siapa saja yang masuk agar membawa modal referensi dan keberanian berargumen yang logis

‎‎Jurgen Habermas pernah menulis bahwa public sphere adalah ruang di mana warga berkumpul untuk mendiskusikan kepentingan bersama secara rasional. Di Caffe Kopiam, meja-meja menjadi panggung diskusi tanpa moderator. Mahasiswa dari latar belakang organisasi yang berbeda duduk berhadapan, saling menantang argumen tentang isu politik, Hukum, Pendidikan, Sistem Kampus, hingga geopolitik Nasional dan Internasional. Satu teguk Kopi Vietnam, espresso sering kali menjadi jeda sebelum sebuah argumen tajam meluncur.

‎‎Fenomena ini menarik karena dalam banyak kampus di Indonesia, ruang publik mahasiswa sering kali direduksi menjadi ruang formal, ruang kuliah, seminar, atau forum resmi organisasi intra kampus. Di Caffe Kopiam, formalitas itu runtuh. Di sini, seorang mahasiswa baru lintas jurusan bisa dengan berani membantah seniornya tanpa rasa takut hingga dicap “tidak sopan” karena aturan yang berlaku adalah kekuatan argumen, bukan senioritas.

‎‎Titik Temu: Jembatan Antar Ideologi

‎Caffe Kopiam menjadi titik temu, karena ia menampung berbagai warna ideologi mahasiswa yang religius, progresif, bahkan apatis. Perbedaan ini, jika dipandang dengan kacamata sosiologi konflik ala Lewis Coser, justru menghidupkan dinamika sosial. Coser berpendapat bahwa konflik dalam kadar tertentu adalah “garam” bagi perkembangan sosial karena memicu adaptasi dan inovasi. Di Caffe Kopiam, mahasiswa belajar bahwa lawan diskusi bukanlah musuh pribadi. Justru dari perbedaan sudut pandang, lahir pengayaan pengetahuan.

‎Di sinilah juga teruji kemampuan mahasiswa memahami dan menginternalisasi konsep toleransi epistemik kesadaran, bahwa kebenaran itu tidak tunggal, dan perspektif orang lain bisa saja lebih tepat dalam konteks tertentu. Caffe Kopiam, dengan demikian, menjadi laboratorium sosial bahkan pengetahuan yang tidak tercatat dalam kurikulum kampus, tetapi efeknya nyata dalam membentuk soft skill intelektual.

‎‎Titik Bentur ketika egosentrisme intelektual menjadi racun. Namun demikian, titik temu kadang berubah menjadi titik bentur. Bourdieu mengingatkan bahwa modal intelektual sering kali digunakan untuk mempertahankan dominasi simbolik. Di Caffe Kopiam, tak jarang diskusi yang semula cair berubah menjadi ajang show-off teori di mana tujuan utama bukan lagi mencari kebenaran, melainkan memenangkan perdebatan.

‎Mahasiswa yang terlalu mengagungkan ego akademiknya kerap memotong pembicaraan, meremehkan argumen lawan, atau memonopoli forum seakan-akan mereka adalah hakim tunggal yang menghasilkan kebenaran hakiki. Fenomena ini bukan hanya mengganggu etika diskusi, tetapi juga membunuh rasa ingin tahu secara kolektif. Seperti kata Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan yang membebaskan hanya dapat tercapai ketika subjek dan objek pembelajaran saling belajar, bukan ketika satu pihak merasa menjadi guru permanen.

‎‎Selain itu, ada salah satu isu yang di kritik, dan sering terdengar di meja Caffe Kopiam adalah dangkalnya budaya membaca mahasiswa. Banyak yang datang berdiskusi tanpa bekal literatur memadai, mengandalkan narasi dari media sosial atau cerita dari mulut ke mulut. Akibatnya, diskusi kadang melayang di udara tanpa landasan akademis yang kuat.

‎‎Seorang aktivis Lembaga Pers Mahasiswa pernah berkata di Caffe Kopiam “Banyak mahasiswa kita pintar berbicara, tapi miskin referensi. Kita kehilangan tradisi close reading, dan malah mengandalkan scrolling.” Kritik ini sejalan dengan temuan UNESCO bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, sebuah fakta yang seharusnya memicu gerakan literasi serius di kalangan mahasiswa.

‎‎Cffs Kopiam harus menyediakan rak buku kecil di pojok ruangan, sehingga disentuh oleh mahasiswa. Ironisnya, mahasiswa hari-hari ini lebih tertarik memotret cangkir kopi, tulisan motivasi di dinding caffe untuk diunggah ke Instagram ketimbang membuka lembaran buku yang terselip di dalam tas. Di titik ini, kampus dan organisasi mahasiswa gagal dalam membudayakan membaca secara konsisten.

‎‎Caffe Kopiam sering menjadi tempat pertemuan informal organisasi mahasiswa. Di sudut meja belakang, kelompok organisasi gerakan membicarakan strategi advokasi isu dengan pandangan marxis, sementara di meja depan, kader HMI membedah buku. Inilah manifestasi nyata dari tesis Gramsci tentang organic intellectual, intelektual yang lahir dari rahim pergerakan, bukan hanya dari ruang kuliah.

‎‎Namun, di balik itu ada problem laten, di mana organisasi mahasiswa sering kali terjebak dalam politik praktis kampus yang mengorbankan idealisme intelektual. Caffe Kopiam menjadi saksi bisu negosiasi antara aktivis dan elit kampus, atau kompromi yang melemahkan posisi kritis mahasiswa. Dalam pandangan mahasiswa independen, inilah “titik bentur” yang paling mengkhawatirkan, ketika arena intelektual dikorbankan demi agenda politik jangka pendek.

‎‎Dari perspektif sosiologi Robert Putnam, Caffe Kopiam bisa dilihat sebagai modal sosial bridging menghubungkan individu dari latar belakang berbeda untuk membentuk jaringan kepercayaan. Modal sosial ini penting karena memungkinkan kerja sama lintas organisasi, lintas fakultas, bahkan lintas generasi. Banyak inisiatif sosial kampus, mulai dari Mekanisme penggalangan dana organisasi mahasiswa, hingga program literasi, lahir dari percakapan santai di Caffe Kopiam.

‎Namun, modal sosial ini rapuh. Jika Caffe Kopiam terlalu didominasi oleh kelompok tertentu, ia bisa berubah menjadi modal sosial bonding yang eksklusif menguatkan ikatan internal tetapi memutus jembatan dengan pihak luar. Inilah paradoks yang harus dikelola untuk menjaga keterbukaan sambil mempertahankan kedalaman diskusi.

‎‎Lebih lanjut sebagian mahasiswa juga mengkritik kecenderungan meromantisasi kopi sebagai simbol intelektualitas. Tidak semua yang duduk berjam-jam di Caffe berarti sedang membangun peradaban. Ada yang hanya menunggu deadline tugas, atau sekadar menghindari pulang ke kos. Kopi memang bisa menjadi katalis ide, tetapi tanpa disiplin intelektual, ia hanya menjadi minuman pengisi waktu.

‎‎Kritik ini mengingatkan pada pandangan Richard Sennett dalam The Fall of Public Man, bahwa ruang publik bisa kehilangan fungsi kritisnya, jika terjebak pada estetika tanpa substansi. Dalam konteks Kopiam, bahaya itu nyata jika diskusi hanya menjadi “ritual intelektual” tanpa arah.

‎Oleh karena itu, agar Caffe Kopiam tetap menjadi titik temu yang produktif dan bukan sekadar titik bentur ego, maka

‎harus memperkuat budaya membaca, diskusi dengan grup epistemik. Kemudian mengintegrasikan isu lokal dan global agar diskusi relevan dengan konteks hukum, politik, dan sosial. Jika hal tersebut dijalankan, maka Caffe Kopiam bukan hanya kedai kopi, tetapi universitas kedua atau sebuah universitas informal yang hidup di luar pagar kampus.