JAKARTA — Ketua Padepokan Hukum Indonesia (PADHI), Mus Gaber, meminta publik untuk tidak mempolitisasi isu kepemilikan perusahaan tambang oleh Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoandra.
Menurutnya, perusahaan tersebut merupakan warisan sah dari mendiang suaminya, Benny Laos, yang sudah berdiri dan beroperasi jauh sebelum Sherly menjabat sebagai gubernur.
“Perusahaan itu ada dan berjalan sebelum Sherly menjabat. Jadi tidak bisa serta-merta dikatakan penyalahgunaan jabatan. Sepanjang tidak merugikan negara dan masyarakat, publik perlu memandangnya secara objektif,” ujar Mus Gaber di Jakarta, Selasa (04/11).
Mus menjelaskan, secara hukum, kepemilikan perusahaan oleh ahli waris merupakan hal yang sah dan tidak otomatis menimbulkan konflik kepentingan. Namun ia mengingatkan pentingnya langkah etis agar jabatan publik tidak tercampur dengan kepentingan bisnis keluarga.
“Tidak mungkin perusahaan peninggalan suaminya dimatikan. Tapi agar tak mengganggu konsentrasi mengurus rakyat, sebaiknya dikelola oleh anggota keluarga lain. Itu bentuk tanggung jawab moral dan etika pejabat publik,” tambahnya.
Isu ini mencuat setelah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan adanya jaringan perusahaan tambang yang terhubung dengan keluarga Sherly Tjoandra.
Sedikitnya enam entitas usaha disebut dalam laporan itu, di antaranya PT Karya Wijaya, PT Bela Sarana Permai, dan PT Bela Group, yang bergerak di sektor nikel, pasir besi, dan emas di wilayah Halmahera, Obi, dan Gebe.
Benny Laos, suami Sherly sekaligus mantan Bupati Morotai, diketahui sebagai pendiri dan pemegang saham utama di beberapa perusahaan tersebut. Setelah beliau wafat, Sherly tercatat menggantikan sebagian kepemilikan saham melalui mekanisme waris.
“Kalau kepemilikan itu hasil pewarisan, bukan penyalahgunaan wewenang, maka tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Namun publik berhak mengawasi agar tidak terjadi tumpang tindih antara jabatan gubernur dan bisnis keluarga,” tegas Mus Gaber.
Meski membela dari sisi hukum, Mus Gaber tetap menyoroti pentingnya aspek etika publik dan transparansi.
Menurutnya, pejabat daerah harus memastikan bahwa kepemilikan saham atau bisnis keluarga tidak mempengaruhi kebijakan publik.
“Undang-undang sudah jelas. Kepala daerah tidak boleh mengambil keputusan yang berpotensi menguntungkan dirinya atau keluarganya. Karena itu, langkah terbaik adalah menyerahkan operasional perusahaan kepada pihak keluarga lain atau profesional,” ujar Mus.
Ia menambahkan, Sherly Tjoandra justru bisa menjadi contoh pejabat yang bijak, bila terbuka terhadap publik dan menata ulang struktur bisnis keluarganya secara profesional.
Mus juga menilai isu ini mulai bergeser ke arah serangan politik, bukan lagi soal substansi hukum.
“Isu warisan perusahaan jangan dijadikan alat politik untuk menjatuhkan seseorang. Kalau ada pelanggaran, buktikan dengan data hukum. Tapi kalau hanya persepsi, itu tidak sehat bagi demokrasi daerah,” ucapnya.
Menurutnya, polemik ini harus disikapi dengan kepala dingin, agar tak menimbulkan keresahan sosial di tengah masyarakat Maluku Utara yang saat ini tengah menanti kepastian kebijakan ekonomi daerah.
Menutup pernyataannya, Mus Gaber menegaskan bahwa menjadi ahli waris bukanlah dosa politik, namun bagaimana cara mengelolanya yang menentukan.
“Sherly perlu menjaga keseimbangan antara amanah sebagai gubernur dan tanggung jawab moral sebagai ahli waris. Kalau dijalankan transparan, publik akan menilai dengan adil,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan