Oleh Raman Bakir, Mahasiswa Universitas Nahdlatul ulama Maluku Utara – Pendidikan adalah puncak peradaban yang lahir dari ilham manusia untuk menjemput hakikatnya sebagai makhluk berpikir, bermoral, dan berbudaya. Ia bukan sekadar alat untuk memperoleh pekerjaan atau sekadar jalan menuju mobilitas sosial, melainkan merupakan proses historis yang menghidupkan cita-cita kolektif tentang dunia yang lebih adil dan tercerahkan. Dalam perspektif sosial, pendidikan adalah arena di mana manusia menjemput kemanusiaannya di tengah kenyataan yang terus bergerak dan berubah.
Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan kita hari ini cenderung dibentuk dan dijalankan di bawah logika kekeliruan berpikir yang disebut sebagai Fallacy of Dramatic Instance yakni kecenderungan menarik kesimpulan besar dari contoh kecil yang dramatis. Kita terlalu sering menganggap pendidikan telah berhasil hanya karena satu-dua orang berhasil “naik kelas” secara ekonomi.
lalu memutlakkan kisah mereka sebagai gambaran utuh sistem pendidikan. Padahal di balik layar narasi-narasi sukses tersebut, tersembunyi realitas sosial yang getir: ketimpangan akses, krisis kualitas, dan alienasi intelektual di kalangan generasi muda.
Dari sisi kualitas, pendidikan Indonesia masih terjebak pada orientasi individualistik yang mengejar penguasaan materi pelajaran tanpa memperhatikan pembangunan kesadaran sosial.
Pengetahuan diproduksi dalam ruang-ruang kelas sebagai hafalan dan prosedur, bukan sebagai alat pembebasan dan pembongkaran struktur. Dalam kerangka pendidikan transformatif, seharusnya pengetahuan menjadi kekuatan kolektif untuk menggugat ketidakadilan, bukan sekadar menjadi prestasi akademik yang bersifat personal.
Lebih parah lagi, secara kuantitas, arus rekayasa sosial telah memanipulasi persepsi kita terhadap capaian pendidikan. Peningkatan angka partisipasi pendidikan sering dipakai sebagai indikator keberhasilan, padahal akses yang meningkat tanpa kualitas yang menjamin kesadaran kritis justru dapat menimbulkan apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai symbolic violence kekerasan simbolik yang menyamar sebagai pemberdayaan.
Pendidikan hadir sebagai instrumen pelanggan sistem sosial, bukan alat transformasi struktural. Dalam konteks ini, Fallacy of Dramatic Instance memainkan perannya secara ideologis, mengalihkan perhatian publik dari krisis nyata dalam pendidikan melalui narasi-narasi pengecualian yang tampak gemilang.
Dampak dari kekeliruan berpikir ini sangat nyata di kalangan generasi muda. Mereka dibentuk dalam ruang pendidikan yang sarat dengan harapan-harapan ilusionistik, tanpa bekal untuk membaca realitas secara struktural. Kerancuan berpikir menjadi lazim, karena pendidikan tidak lagi memfasilitasi refleksi, melainkan mengalihkan perhatian pada hal-hal seremonial nilai, ijazah, ranking, tanpa makna.
Kita menghadapi generasi yang cerdas secara teknis, tapi tumpul secara sosial dan historis.
Alfred Korzybski pernah memperingatkan bahwa manusia sering keliru memahami realitas karena menganggap “peta sebagai wilayah”. Dalam konteks pendidikan, peta itu adalah narasi tentang keberhasilan sistem; sedangkan wilayah adalah realitas konkret di lapangan. Kita telah keliru membaca peta, kita mengira sistem bekerja hanya karena segelintir anak muda tampil menonjol di ruang publik, padahal mayoritas lainnya tenggelam dalam jurang ketimpangan dan disorientasi.
Ketika pendidikan kehilangan akarnya sebagai alat kontrol dan transformasi sosial, maka ia hanya menjadi alat formalitas yang kehilangan substansi.
Situasi ini diperparah oleh rekayasa sosial yang terjadi secara masif dan sistematis. Pendidikan bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan sosial, tapi juga menjadi alat yang membentuk struktur sosial tertentu sesuai kepentingan dominan.
Inilah yang disebut Anthony Giddens sebagai structuration bahwa individu dan struktur saling membentuk. Maka jika pendidikan terus dibiarkan dalam kungkungan fallacy, maka yang terjadi bukanlah pembebasan, melainkan justru pembentukan struktur sosial yang kian mengekang kesadaran.
Dalam kerangka Giddens pula, diperlukan apa yang disebut sebagai discursive consciousness kesadaran diskursif. Artinya, pendidikan seharusnya menjadi ruang reflektif, di mana individu tidak hanya menyerap pengetahuan, tapi juga mengembangkan kapasitas berpikir kritis terhadap realitas sosial yang melingkupinya.
Pendidikan semestinya tidak mendidik untuk menjadi penurut sistem, tetapi untuk menggugat dan mengubah sistem.
Maka tantangan kita hari ini bukan sekadar bagaimana memperbaiki infrastruktur pendidikan atau memperbarui kurikulum, melainkan bagaimana membebaskan pendidikan dari belenggu Fallacy of Dramatic Instance. Kita harus mampu menembus ilusi dan mengembalikan pendidikan pada peran aslinya sebagai pembentuk kesadaran kolektif, bukan pengasah kemampuan individual semata.
Kita perlu membongkar narasi-narasi palsu tentang keberhasilan pendidikan, dan menggantinya dengan refleksi yang jujur dan menyakitkan tentang realitasnya.
Oleh karena itu, jika pendidikan terus kita biarkan sebagai panggung drama yang penuh dengan kisah sukses tunggal dan simbolik, maka kita akan gagal melahirkan generasi yang mampu berpikir secara historis, sosial, dan reflektif.
Pendidikan yang hanya mengejar angka dan gelar tidak akan pernah mampu membentuk bangsa yang merdeka secara pikiran. Kita harus mengakui bahwa pendidikan kita sedang dalam krisis—bukan krisis fasilitas, tapi krisis kesadaran.
Dan selama kita masih terjebak dalam Fallacy of Dramatic Instance, selama itu pula kita akan terus memetakan harapan pada wilayah yang salah.
Berdasarkan problem yang dinarasikan, maka marilah kita robek peta usang itu, dan mari kita berhenti mengagumi narasi pengecualian dan mulai membongkar struktur yang sesungguhnya. Kita butuh pendidikan yang berpihak pada realitas, bukan ilusi.
Pendidikan yang membentuk kesadaran, bukan ketundukan. tak hanya menjawab soal-soal ujian, tapi juga menggugat soal keadilan. Sudah saatnya pendidikan berhenti menjadi panggung sandiwara, dan kembali menjadi medan perjuangan.
Karena jika pendidikan gagal menjadi obor, maka jangan salahkan jika generasi mendatang hanya melihat dunia sebagai ruang gelap yang nyaman untuk diam.
Tinggalkan Balasan