Oleh, Saidun Suryadi–Dalam realitas global yang terus berubah, setiap individu secara sadar maupun tidak telah memasuki medan tempur ideologis yang sunyi, tapi sarat konsekuensi.
Di sinilah letak persoalan utama dari hegemoni hari ini, ia tidak lagi datang sebagai dominasi yang memaksa, tetapi menyusup dalam bentuk kebiasaan, narasi, bahkan sistem pendidikan kita. Manusia diajarkan untuk mengikuti, bukan untuk merumuskan. Maka, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah apakah pendidikan kita benar-benar mendidik manusia, atau sekadar menjinakkan mereka?
Dalam setiap fase perkembangan, manusia bertumpu pada kerangka berpikir yang tidak netral. Ia disusun oleh nilai, konteks sejarah, dan terpenting ideologi. Ideologi bukan sekadar kata yang asing di ruang diskusi kampus, tetapi merupakan garda terdepan dari cara berpikir dan bertindak. Ia adalah “software” dari kesadaran kita.
Ketika seseorang membaca buku, ia tidak hanya sedang mengonsumsi teks, tetapi sedang menegosiasikan cara dunia dilihat dan ditafsirkan. Namun, dalam sistem pendidikan kita hari ini, proses membaca tidak lagi diarahkan untuk membangkitkan kesadaran, melainkan sekadar memenuhi kurikulum. Di sinilah kita melihat kematian pendidikan sebagai alat emansipasi.
Filsuf pendidikan Paulo Freire mengajarkan bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membebaskan, bukan menindas. Tetapi apa yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Siswa diajarkan untuk tunduk pada angka, bukan kebenaran. Guru lebih sibuk menyampaikan silabus ketimbang menggali makna. Maka, benarlah kiranya bahwa ideologi dominan hari ini telah mengambil alih ruang berpikir manusia sejak dini, dan itu dilakukan lewat institusi pendidikan.
Ketika kita berbicara soal hegemoni global, satu negara yang terus menjadi sorotan adalah Tiongkok. Negara ini telah mengubah wajah dominasi, dari senjata menjadi teknologi, dari peluru menjadi kecerdasan buatan. Mereka tidak menjajah secara kasar, mereka menanamkan pola pikir dan ketergantungan sistemik. Inilah bentuk baru kolonialisme kolonialisme nalar.
Indonesia, dalam konteks ini, bukanlah aktor aktif, melainkan penerima pasif. Kita lebih bangga menjadi pasar daripada produsen. Kita menikmati barang jadi, tapi tak pernah serius membangun pabrik pengetahuan. Kita mengandalkan ekspor bahan mentah, tapi malas mengolahnya sendiri. Mengapa? Karena kita tidak pernah dididik untuk berpikir mandiri.
Hegemoni tidak akan bertahan tanpa kolaborator internal. Di sinilah negara komprador bekerja: mereka adalah elite-elite lokal yang rela menjual kedaulatan pemikiran demi kenyamanan pribadi. Mereka yang seharusnya membela rakyat, justru menjadi agen penyambung sistem penindasan global. Kapitalisme transnasional tidak bisa masuk tanpa ada pintu yang dibuka dari dalam sayangnya, banyak pintu telah terbuka lebar.
Pendidikan semestinya menjadi fondasi perlawanan terhadap hegemoni. Namun hari ini, justru pendidikan lah yang paling banyak direduksi fungsinya. Di ruang-ruang kelas kita, teori dikaburkan dari praksis. Mahasiswa dijejali teks tanpa konteks. Dosen dipaksa mengejar angka kredit ketimbang membangun karakter berpikir.
Kita melihatnya di Maluku Utara, di Jawa, di seluruh Indonesia bahwa pendidikan belum menyentuh kesadaran kolektif. Padahal, bangsa tidak akan merdeka hanya dengan upacara, tetapi dengan keberanian berpikir yang bebas. Maka, pendidikan kritis harus dijadikan proyek nasional, bukan sekadar jargon kampus.
Pendidikan kritis bukan berarti anti-negara. Justru ia adalah bentuk cinta paling radikal pada bangsa: dengan cara menggugat ketika negara menyimpang, dan membela ketika negara tertindas. Pendidikan kritis mengajarkan keberanian untuk melawan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan sistemik yang dilakukan oleh negara sendiri atas rakyatnya.
Persaingan antarnegara hari ini bukan hanya soal senjata atau ekonomi, tetapi soal daya pikir. Negara yang menguasai pikiran, menguasai masa depan. Dalam hal ini, kita harus akui bahwa Indonesia tertinggal jauh. Kita tidak kekurangan manusia, tetapi kekurangan pemikir. Kita tidak kekurangan universitas, tetapi kekurangan intelektual.
Tiongkok membangun hegemoni lewat penguasaan teknologi. Mereka menguasai algoritma, produksi, dan distribusi ide. Sementara itu, Indonesia masih terjebak dalam produksi nilai benda. Kita lebih sibuk membangun jalan tol daripada membangun jalan pikiran. Dan yang lebih tragis: kita tidak menyadari bahwa ini adalah bentuk penjajahan romantis. Kita dijajah, tapi kita menyukainya.
Che Guevara pernah berkata, “Negara yang malas membaca dan menulis tidak layak memimpin.” Pernyataan ini menampar kita dengan kejujuran yang menyakitkan. Bagaimana kita bisa memimpin jika kita sendiri takut untuk berpikir? Jika kritik dianggap ancaman, jika buku dianggap beban, jika ide dianggap subversif?
Hegemoni memang raksasa yang kuat. Tapi ia punya kelemahan, ia bergantung pada ketidaksadaran. Maka, satu-satunya cara melawan hegemoni adalah dengan membangunkan kesadaran secara individual dan kolektif. Kesadaran bahwa kita adalah subjek yang berhak berpikir sendiri. Kesadaran bahwa kita tidak ditakdirkan untuk tunduk.
Dari kampus hingga kampung, dari ruang akademik hingga ruang seniman, kita harus membangun gerakan pendidikan yang berpijak pada keberanian intelektual. Kita tidak bisa lagi menunggu perubahan datang dari atas. Negara yang korup tidak akan pernah menghasilkan rakyat yang merdeka. Maka rakyat sendiri harus menjadi motor perubahan.
Kita tidak sedang membutuhkan lebih banyak teori. Kita membutuhkan lebih banyak keberanian. Pendidikan harus kembali menjadi proyek kultural, bukan hanya administratif. Ia harus melibatkan hati, pikiran, dan tindakan. Jika tidak, maka pendidikan akan menjadi penjara baru di mana kita dibentuk bukan untuk menjadi manusia bebas, tetapi menjadi pelayan dari mesin hegemonik yang tak kasat mata.
Di tengah dunia yang penuh tipu daya ini, hanya mereka yang berani berpikir yang layak memimpin.
Tinggalkan Balasan