DETIKTV.CO.ID, TERNATE —Lagi-lagi, ruang akademik kembali diwarnai oleh tindakan memalukan yang mencederai martabat pendidikan tinggi. Seorang mahasiswi ISDIK Kie Raha, Mirawati Tidore, diduga menjadi korban pemerasan beasiswa oleh oknum dosen, Najamudin Marsaoly, M.Pd sebuah tindakan yang tak hanya melanggar etika, tetapi berpotensi kuat masuk dalam ranah hukum pidana.

‎Mirawati mengaku bahwa ATM miliknya ditahan tanpa izin, lalu dana beasiswa senilai Rp1.600.000 ditarik oleh pelaku tanpa persetujuan. Lebih parah, video berdurasi 1 menit 11 detik memperlihatkan tindakan kekerasan fisik dan verbal terhadap korban, yang dilakukan oleh Najamudin bersama istrinya, Ria Nhaja. Peristiwa ini terjadi di kos korban, Kelurahan Toloko, Ternate Utara, pada malam hari.

‎Tindakan Najamudin diduga melanggar Pasal 368 KUHP (Pemerasan), Pasal 372 KUHP (Penggelapan), dan Pasal 351 KUHP (Penganiayaan, untuk kekerasan yang menyertai tindakan tersebut).

‎Lebih dari sekadar delik pidana, ini juga pelanggaran berat terhadap Kode Etik Dosen, sebagaimana diatur dalam Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, khususnya pasal mengenai integritas dan perlindungan terhadap peserta didik.

‎Dalam perspektif hukum administrasi, rektor selaku pimpinan perguruan tinggi dapat dan berwenang memecat atau memberhentikan dosen berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS (jika yang bersangkutan ASN) atau melalui aturan internal perguruan tinggi berdasarkan asas kepatutan dan tanggung jawab jabatan.

‎Pecat Sekarang atau Reputasi Kampus Terjerembab. Aliansi Mahasiswa ISDIK Kie Raha mendesak:

‎1. Pemecatan segera terhadap Najamudin Marsaoly dan Ria Nhaja karena telah mencoreng Tri Dharma Perguruan Tinggi.

‎2. Evaluasi total birokrasi kampus, yang dinilai permisif terhadap kekerasan dan dugaan pungli.

‎3. Hentikan praktik premanisme terhadap mahasiswa yang selama ini ditutupi oleh dinding kekuasaan akademik.

‎Tak hanya soal dosen, mahasiswa juga mengungkap praktik pemotongan sistemik dana beasiswa dan denda administratif yang irasional, yang semakin memperkuat tudingan bahwa kampus telah menjelma menjadi institusi yang menindas, bukan mendidik.

‎Sudah saatnya aparat penegak hukum, Ombudsman, dan Kementerian turun tangan. Dunia akademik bukan tempat bagi pelaku kekerasan, pemerasan, dan kebijakan represif yang tak berdasar. Bila hukum diam, maka kampus akan berubah menjadi panggung ketidakadilan yang sah.