DETIKTV.CO.ID, TERNATE–Sidang praperadilan atas penetapan 11 warga Maba Sangaji sebagai tersangka terus berlanjut di Pengadilan Negeri Soasio. Isu ini bukan semata perkara hukum, tapi juga kisah tentang warga biasa yang melintasi hutan lebat demi menyampaikan suara mereka, dan justru pulang dengan borgol di tangan.

 

Ke-11 warga itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Maba Selatan dan Polda Maluku Utara, dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Darurat, dan beberapa pasal dalam KUHP, termasuk pasal pemerasan dan ancaman.

 

Namun, pengacara mereka, Suarez H. Yunus didampingi Furqan Abdullah dan Balqis membawa perlawanan ke jalur praperadilan. Bagi mereka, ini bukan sekadar tentang paragraf dan pasal. Ini tentang menuntut kejelasan: sah kah penetapan tersangka itu? proses penangkapan yang dilakukan aparat?

 

“Praperadilan ini untuk menguji apakah langkah hukum terhadap klien kami dilakukan sesuai aturan yang berlaku, atau justru melanggar prinsip keadilan,” kata Suarez usai sidang perdana, Kamis, 5 Juni 2025.

 

Sidang yang dimulai dengan pembacaan permohonan itu dijadwalkan berlanjut hingga 16 Juni, saat putusan akan dibacakan. Dalam rangkaian sidang mendatang, akan dihadirkan saksi dari pihak pemohon termasuk warga yang kini mendekam di tahanan serta ahli hukum pidana dari YLBH dan Kontras Jakarta, untuk menghadirkan perspektif objektif di tengah perdebatan hukum yang kian memanas.

 

Menurut Suarez, sebagian dari 11 warga itu dikenakan Pasal 368 ayat 1 KUHP tentang pemerasan, serta Pasal 2 ayat 1 UU Darurat karena membawa senjata tajam dalam hal ini, parang. Tak hanya itu, mereka juga dibidik dengan Pasal 162 UU Minerba karena dianggap menghalangi kegiatan pertambangan PT Posision.

 

Namun Suarez menegaskan tuduhan-tuduhan itu berdiri di atas pondasi yang rapuh.

 

“Parang yang mereka bawa bukan untuk menyerang,” jelasnya. “Itu adalah bagian dari keseharian masyarakat yang harus berjalan kaki jauh, melewati hutan dan sungai. Itu alat bertahan hidup di medan ekstrem, bukan alat kekerasan.”

 

Faktanya, menurut penuturan Suarez, warga hanya ingin menyampaikan dua aspirasi kepada pihak perusahaan: soal kualitas air sungai yang memburuk dan rusaknya hutan akibat eksplorasi tambang. Namun yang mereka temui bukan pejabat perusahaan, melainkan pihak subkontraktor. Pertemuan formal bahkan baru dijadwalkan pada 18 Mei setelah insiden terjadi.

 

Ironisnya, parang yang mereka simpan rapi di dalam tenda justru dijadikan bukti penyerangan.

 

“Fakta-fakta yang digunakan untuk menetapkan mereka sebagai tersangka, bagi kami, bukanlah fakta hukum. Mereka hanya alat untuk membungkam suara warga,” tegas Suarez.

 

Sidang praperadilan ini bisa menjadi panggung pengujian keadilan. Bukan hanya bagi 11 warga Maba Sangaji, tapi juga bagi semua yang suatu hari bisa berdiri di antara hutan, perusahaan tambang, dan aparat hukum dengan parang di tangan dan suara yang menuntut di dengar.