Oleh: Tody A Prabu, S.H , Ketua Umum Komunitas Rakyat Indonesia Unggul, Waketum DPP FABEM – Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa – Senat Mahasiswa dan Advokad

 

Di tengah tantangan global dan ketidakpastian geopolitik, Indonesia memancang ambisi besar: menjadi Lumbung Pangan Dunia pada 2045, tepat satu abad setelah proklamasi kemerdekaan. Bukan sekadar slogan, visi ini telah dirumuskan ke dalam langkah-langkah nyata oleh Kementerian Pertanian, termasuk melalui strategi prioritas pembangunan kawasan perbatasan.

Namun, pertanyaannya bukan semata “apakah mungkin”, melainkan: apakah kita cukup serius?

Perbatasan Bukan Halaman Belakang, Tapi Beranda Negara

Wilayah perbatasan seringkali hanya disebut ketika terjadi konflik, penyelundupan, atau insiden diplomatik. Padahal, secara geopolitik, kawasan ini adalah wajah terluar Indonesia, langsung berbatasan dengan negara-negara tetangga. Menjadikannya sebagai episentrum pertumbuhan pangan berorientasi ekspor—seperti melalui program Lumbung Pangan Berorientasi Ekspor di Wilayah Perbatasan (LPBE-WP)—adalah langkah strategis sekaligus simbolik.

Dengan penguatan infrastruktur, benih unggul, peralatan modern, dan proteksi lewat asuransi pertanian, wilayah yang dahulu terpinggirkan kini diarahkan menjadi zona produksi pangan yang mampu menembus pasar internasional. Ini bukan romantisme pembangunan dari pinggiran, melainkan kebutuhan objektif dalam upaya mendekatkan sumber pangan ke pintu ekspor dan mengurangi ketimpangan wilayah.

Langkah-Langkah Terukur: Dari Swasembada ke Ekspor

Dalam kurun waktu dua tahun (2015–2016), Kementerian Pertanian menunjukkan progres signifikan: perbaikan irigasi untuk 3 juta hektare, pembangunan embung, distribusi 180 ribu alat mesin pertanian, hingga swasembada beras tanpa impor jenis medium. Bahkan, ekspor beras organik dan premium mulai diluncurkan ke Eropa, Sri Lanka, dan Papua Nugini.

Lebih impresif lagi, impor jagung pakan ternak turun drastis sebesar 62% hanya dalam satu tahun. Ini bukan sekadar keberhasilan administratif, tetapi bukti bahwa dengan tata kelola yang tepat, Indonesia dapat menciptakan sistem pangan yang tangguh dan kompetitif.

Namun, keberhasilan ini belum cukup menjadi fondasi jangka panjang. Tantangan struktural seperti rendahnya adopsi inovasi, keterbatasan SDM pertanian, dan kendala logistik di wilayah perbatasan masih menjadi pekerjaan rumah yang nyata.

Sinergi Wilayah: Usul Strategis dari Komunitas Sipil

Dalam momentum ini, gagasan strategis juga datang dari masyarakat sipil. Ketua Umum Komunitas Jabar Unggul, Tody Ardiansyah Prabu,S.H mengusulkan model kolaborasi antar-provinsi, khususnya Propinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat ( Sebagai Perwujudan Miniatur NKRI yang Kaya Raya & Subur Tanah Alamnya ) , sebagai dua wilayah yang memiliki potensi besar menjadi pusat produksi pangan nasional dan ekspor global Mendunia.

Ia mengajukan lima poros kerja sama:

1. Penguatan ketahanan pangan dan pengembangan food estate yang berkelanjutan;

2. Inovasi Teknologi Pertanian dan Riset, melalui integrasi lembaga pendidikan dan pertanian modern

3. Intelektualisasi Pesantren dan pembangunan ekonomi syariah berbasis komunitas;

4. Penciptaan produk halal untuk memenuhi pasar global;

5. Penguatan Ekowisata dan Budaya Lokal sebagai nilai tambah ekonomi sekaligus alat diplomasi lunak Indonesia

Gagasan ini bukan sekadar mimpi regional, tapi dapat menjadi prototipe kolaborasi antar-daerah yang saling melengkapi dalam peta pangan nasional. Apalagi, keduanya berada dalam koalisi politik yang sama dan memiliki latar historis yang kuat dalam sektor pertanian dan pendidikan berbasis nilai.

Refleksi Kritis: Mimpi Besar Butuh Konsistensi Besar

Tak dapat dipungkiri, mimpi menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045 menuntut lebih dari sekadar kinerja kementerian sektoral. Diperlukan konsistensi lintas pemerintahan, stabilitas politik, keberanian deregulasi, dan terobosan investasi jangka panjang. Terlebih, ancaman perubahan iklim, degradasi lahan, hingga fluktuasi pasar global menjadi variabel yang tak bisa diabaikan.

Apalagi, swasembada pangan sejati bukan hanya tentang produksi, melainkan keadilan distribusi, harga yang layak bagi petani, dan akses pangan yang adil bagi rakyat kecil. Artinya, reformasi tata niaga, penguatan koperasi, dan proteksi terhadap pasar dalam negeri harus berjalan beriringan dengan ambisi ekspor.

Indonesia juga harus menghindari jebakan semu ekspor: mengekspor komoditas mentah tanpa nilai tambah. Sudah saatnya kita berpindah dari eksportir beras dan jagung ke produsen makanan olahan, produk organik tersertifikasi, dan bahan pangan berbasis teknologi ramah lingkungan.

Penutup: Bukan Sekadar Lumbung, Tapi Mercusuar Pangan Dunia

Tahun 2045 bukan sekadar angka simbolis, tapi deadline bagi bangsa ini untuk membuktikan bahwa kedaulatan pangan bukan utopia. Bahwa petani Indonesia bukan sekadar objek bantuan, melainkan subjek utama dalam sistem ekonomi berkeadilan. Bahwa wilayah perbatasan bukan lagi zona rawan, melainkan titik tumpu kejayaan pangan nasional.

Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia jika konsistensi lebih dikedepankan ketimbang sensasi. Jika perbatasan tak hanya dibangun, tetapi benar-benar diberdayakan. Dan jika seluruh pemangku kepentingan memahami bahwa ketahanan pangan adalah fondasi bagi kedaulatan sejati sebuah bangsa.

Kawasan perbatasan harus ditransformasi menjadi pusat kekuatan nasional. Petani tidak boleh lagi menjadi objek belas kasih, tetapi harus menjadi aktor utama dalam sistem ekonomi berkeadilan. Visi besar membutuhkan nyali besar, konsistensi kuat, dan keberanian kolektif untuk berinovasi lintas batas.

Jika itu semua terpenuhi, Indonesia tak hanya akan menjadi lumbung pangan dunia tetapi juga mercusuar peradaban pangan global.