DETIKTV.CO.ID, HALSEL— Dana bantuan sosial kembali menampakkan lagi di Halmahera Selatan. Setelah Kecamatan Obi, kini giliran Obi Selatan yang diguncang oleh dugaan korupsi terstruktur dalam penyaluran Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Warga yang mestinya menerima hak atas bantuan negara, justru ditinggalkan dalam ketidakjelasan selama lebih dari satu tahun.
Dugaan ini bukan lagi kelalaian teknis, tapi menyerupai pola kerja yang sistematis dan terorganisir dengan aktor kunci mulai dari pendamping program hingga oknum di tubuh PT Pos Indonesia.
Sejak Januari 2023, Keluarga penerima manfaat (KPM) tak kunjung menerima hak bantuan mereka, meski nama-nama mereka tercatat dalam daftar resmi Kementerian Sosial RI. Nilainya bukan kecil: Rp 2,4 juta per tahun per keluarga. Jika dikalikan jumlah penerima, kerugian negara dan rakyat bisa menyentuh angka puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah.
Julina Umar, warga Desa Mano, mengaku hanya menerima bantuan sekali sebesar Rp 500 ribu. Itu pun terjadi di awal pencairan. Sejak itu, dana tak pernah lagi ia lihat.
“Nama kami jelas-jelas ada. Tapi setelah sekali itu, tidak pernah lagi. Kami tidak di kabari lagi,” kata Julina, Rabu (11/6), dengan mata berkaca.
Cerita serupa juga datang dari Desa Wayaloar. Samija Joyo dan Meylan Sumolang mengatakan bahwa dari 24 penerima yang terdaftar di desa mereka, sebagian ada yang dapat dan ada juga tidak menerima bantuan selama selama tahun 2024.
“Kami ini rakyat kecil. Kalau bantuan negara saja bisa lenyap tanpa jejak, siapa lagi yang kami bisa percaya?” kata Meylan, menahan emosi.
Ketika dikonfirmasi, Cristovan Loloh, pendamping BPNT wilayah tersebut, justru lepas tangan. “Tanya ke pos saja,” jawabnya singkat via WhatsApp. Tak ada upaya klarifikasi, tak ada rasa tanggung jawab seolah masalah ini bisa dibungkam dengan jawaban birokratis.
Sementara itu, Sahbudin, staf PT Pos Laiwui yang bertugas di wilayah Obi Selatan, membenarkan bahwa nama-nama penerima memang ada. Namun ia berdalih, bantuan dianggap “gagal bayar” jika tidak diambil sesuai batas waktu. Dana dikembalikan ke kas negara, katanya.
Ketika wartawan mendesak bukti valid bahwa warga benar-benar telah diberi kesempatan menerima, Sahbudin mengirim bukti penyerahan uang Rp 500 ribu hanya satu bukti, tanpa kronologi jelas. Lebih parah, ia menyelipkan komentar melecehkan:
“Ini siapa yang ambil? Apa ibu ini sudah pikun? Saya bantu saja supaya dia ingat,” tulis Sahbudin via WhatsApp Rabu (11/6).
Pernyataan ini bukan hanya tidak etis, tetapi menunjukkan minimnya empati, profesionalisme, dan komitmen pelayanan publik, khususnya kepada warga miskin yang sangat bergantung pada program negara.
Modus Lama, Pola Baru?
Jika melihat data dan kesaksian warga, dugaan korupsi ini bukan kasus tunggal. Indikasinya: nama penerima ada, pencairan tak sampai, berita acara tidak diketahui warga, dokumentasi minim, dan penanggung jawab saling tuding.
Ini bisa jadi modus lama dengan kemasan baru. BPNT yang sejatinya jaring pengaman sosial berubah menjadi ladang bancakan. Di tengah banyaknya warga yang hidup dalam garis kemiskinan, uang negara yang disalurkan justru diduga “dikunci” oleh pihak-pihak yang mestinya menyalurkan.
“Kalau ini dibiarkan, ini bukan hanya korupsi. Ini pengkhianatan terhadap konstitusi,” ujar salah satu aktivis anti-korupsi di Halsel, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Tuntutan Warga: Usut, Tangkap, Kembalikan Hak!
Warga kini tak hanya menuntut bantuan mereka dikembalikan, tetapi juga meminta aparat hukum bergerak cepat. Kejaksaan Negeri, Kepolisian, dan Inspektorat Daerah didesak untuk membongkar dugaan permainan dalam sistem penyaluran BPNT, termasuk menyelidiki kemungkinan adanya kerja sama terselubung antara pendamping dan oknum PT Pos.
“Kami tidak mau lagi dijanji. Kami ingin pendamping dan orang PT Pos itu diproses hukum, dan uang kami dikembalikan,” tegas Samija.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat.
Tinggalkan Balasan