DETIKTV.CO.ID,HALTENG –Tindakan premanisme perusahaan tambang kembali mencoreng wajah investasi di Maluku Utara. Sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di Desa Sagea, Kabupaten Halmahera Tengah, diduga dengan sengaja merusak mobil pick up milik warga Desa Kiya menggunakan alat berat ekskavator hanya karena mempertanyakan hak atas tanah yang dijadikan lokasi jetty bongkar muat material nikel.

Wakil Ketua SPSI Provinsi Maluku Utara, Kasim Nurdin, mengutuk keras aksi brutal tersebut. Ia menyebut tindakan perusahaan itu sebagai bentuk intimidasi yang tidak berperikemanusiaan dan melampaui batas kewajaran dalam dunia usaha.

Sebagai putra asli Desa Sagea, Kasim mengaku marah dan kecewa atas perlakuan semena-mena yang dialami warga. “Ini bukan sekadar konflik lahan biasa, ini murni tindakan premanisme yang dilakukan secara sadar oleh pihak perusahaan,” tegasnya.

Menurut Kasim, perusahaan seharusnya datang membawa kesejahteraan dan kenyamanan bagi masyarakat lokal, bukan menjadi teror yang menakutkan. Ia menilai penggunaan alat berat untuk merusak mobil warga merupakan tindakan intimidatif yang terencana.

Kejadian itu disebut terjadi saat warga mempertanyakan kejelasan status tanah mereka yang digunakan perusahaan sebagai jalur dan fasilitas jetty. Namun alih-alih berdialog, pihak perusahaan justru memilih jalan kekerasan.

Atas insiden tersebut, Kasim mendesak Kapolres Halmahera Tengah untuk segera mengambil tindakan tegas. Ia meminta agar perusahaan bertanggung jawab penuh dan mengganti kerugian mobil warga yang dihancurkan.

“Jika aparat diam, berarti negara kalah oleh premanisme korporasi. Kami tidak akan tinggal diam,” ujarnya dengan nada tinggi.

Lebih jauh, Kasim memperingatkan bahwa apabila masalah ini tidak segera ditangani secara adil, pihaknya akan menggalang konsolidasi pemuda lingkar tambang untuk menduduki lokasi tambang dan menghentikan seluruh aktivitas perusahaan.

Ia menegaskan bahwa kesabaran masyarakat Sagea sudah berada di batas akhir. Jika perusahaan terus bertindak arogan tanpa rasa hormat terhadap warga lokal, maka resistensi besar-besaran tidak akan terhindarkan.

“Perusahaan harus ingat, mereka berdiri di atas tanah adat orang lain. Jika mereka tidak tahu adat, maka kami yang akan ajarkan,” pungkasnya dengan nada mengancam.