DETIKTV.CO.ID, TERNATE– Dugaan praktik suap dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kembali mencuat ke permukaan, menyisakan tanda tanya besar atas integritas tata kelola pertambangan di Maluku Utara. Ketua Rayon Hukum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ternate, Andika Ano, secara terbuka menyoroti keberadaan PT Smart Marsindo yang beroperasi di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah.
Ia menilai, pola pengelolaan izin yang sarat manipulasi dan praktik ilegal mining bukan hanya melanggar aturan, melainkan telah menabrak prinsip dasar hukum pidana suap dan korupsi yang seharusnya menjadi benteng keadilan.
Andika menegaskan, dugaan keterlibatan Shanty Alda Nathalia, Direktur Utama PT Smart Marsindo sekaligus anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dalam kasus suap IUP harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Mengutip putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2024/PN Tte, ia menyebutkan bahwa Shanty terbukti menyerahkan uang Rp 250 juta kepada almarhum Abdul Gani Kasuba (AGK) untuk melicinkan urusan perizinan tambang. Fakta hukum tersebut, menurut Andika, tidak bisa dianggap sebagai peristiwa biasa, melainkan bukti konkret adanya praktik suap yang telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Tipikor.
Lebih jauh, Andika membeberkan detail kronologi yang terungkap dalam persidangan: Shanty bertemu dengan AGK di Hotel Bidakara Jakarta untuk menyampaikan keluh kesah perizinannya, dan tak lama kemudian, uang pelicin berpindah tangan melalui staf perantara.
Praktik ini, selain menyalahi asas kepatuhan hukum, jelas memperlihatkan bahwa relasi kuasa politik dan ekonomi telah berubah menjadi pasar gelap perizinan. Dari perspektif hukum pidana, tindakan ini bukan hanya gratifikasi yang “dipaksakan”, tetapi telah mengarah pada suap aktif yang merusak fondasi keadilan publik.
Ketua Rayon Hukum PMII Cabang Ternate itu menilai, modus seperti ini memperlihatkan bahwa hukum pidana korupsi kerap dipermainkan untuk melanggengkan bisnis ekstraktif. “Suap adalah ibu dari segala kejahatan administratif,” ujarnya lantang. Jika praktik ini dibiarkan, maka kejahatan lingkungan akibat ilegal mining akan terus mendapat legitimasi dari perizinan yang cacat hukum. Dengan kata lain, hukum tidak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai stempel formal bagi praktik perampokan sumber daya alam.
Dalam pernyataannya, Andika juga menyoroti kegagalan PT Smart Marsindo memenuhi kewajiban Jaminan Reklamasi, sebagaimana telah diperingatkan oleh Direktorat Jenderal Minerba melalui Surat Nomor B-727/MB.07/DJB.T/2025. Kegagalan ini bukan sekadar soal administratif, melainkan merupakan pelanggaran serius yang mengandung konsekuensi pidana lingkungan. Ketidakpatuhan terhadap reklamasi memperlihatkan bagaimana perusahaan tambang seringkali hanya mengambil keuntungan, tetapi mengabaikan kewajiban memulihkan kerusakan ekologi yang ditimbulkannya.
Dalam perspektif hukum pidana lingkungan, kelalaian tersebut dapat dipandang sebagai delik omisi yaitu tindak pidana karena tidak melakukan kewajiban hukum. Andika menilai, pemerintah harus berani menggunakan instrumen hukum pidana ini untuk menjerat korporasi yang abai. “Kerusakan ekologi di Pulau Gebe bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan kejahatan terhadap generasi mendatang,” tegasnya.
Desakan keras pun dilayangkan kepada Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Andika menuntut agar investigasi komprehensif dilakukan terhadap seluruh proses pemberian IUP kepada PT Smart Marsindo. Menurutnya, kasus ini tidak bisa dipandang sebagai peristiwa terpisah, melainkan sebagai bagian dari pola sistemik korupsi perizinan tambang yang telah merusak sendi negara hukum.
Secara kelembagaan, Ketua Rayon Hukum PMII Cabang Ternate, Andika menegaskan bahwa mahasiswa tidak boleh diam menghadapi praktik mafia tambang yang bersembunyi di balik kekuasaan. Dalam pandangannya, hukum pidana harus kembali pada fungsi utamanya: menjadi pedang yang memutus jaringan korupsi, bukan sekadar simbol yang dipajang di ruang sidang.
Sorotan ini sekaligus menjadi peringatan bahwa Maluku Utara sedang berada di tepi jurang krisis keadilan ekologis. Suap IUP dan ilegal mining tidak hanya merampas kedaulatan hukum, tetapi juga menjarah masa depan masyarakat lokal. Jika negara benar-benar ingin menegakkan hukum, maka inilah momentum untuk membuktikan bahwa hukum pidana suap dan korupsi bukan hanya dokumen mati, melainkan senjata untuk menegakkan keadilan di bumi Halmahera Tengah.
Tinggalkan Balasan