Detiktv.co.id, Etika Publik — Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam suatu masyarakat. Bahasa juga merupakan alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginan, serta untuk membangun identitas dan budaya suatu kelompok.
Etika merupakan seperangkat prinsip moral yang membimbing perilaku manusia, berkaitan dengan baik dan buruk, serta hak dan kewajiban. Secara sederhana, etika adalah aturan atau standar yang digunakan untuk menilai tindakan seseorang, apakah tindakan tersebut benar atau salah.
Bahasa yang beretika baik dengan penggunaan bahasa yang sesuai dengan prinsip-prinsip etika atau moralitas, serta norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat atau kelompok. Ini mencakup penggunaan bahasa yang sopan, santun, dan menghargai orang lain, serta menghindari penggunaan bahasa yang kasar, merendahkan, atau menyinggung.
Hari-hari belakangan bahasa pejabat publik menjadi sorotan baik di media massa online maupun di media sosial. Sebut saja beberapa di antaranya seperti pernyataan Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang yang menyatakan bahwa seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara dan tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara.
Pernyataan tersebut menyebabkan polemik yang memakan perhatian publik dan menjadi beban bagi pemerintahan yang kemudian agak mereda setelah sang menteri memohon maaf dan memberikan klarifikasi.
Namun Herlamban P Wiratraman, seorang akademisi dari Universitas Gajah Mada menengarai bahwa pernyataan tersebut menyesatkan karena mengkaburkan makna “hak menguasai” oleh negara dalam konsitusi.
Pernyataan Nusron ini dianggap sebagai penyangkalan hak milik warga atas tanah yang dilindungi oleh undang-undang. Artinya pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang itu merupakan antitesis (kebalikan) dari Pasal 33 UUD 1945. Di pasal ini ayat 3 dinyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bahkan pernyataan Nusron Wahid dianggap bernuansa menghadirkan kembali jiwa feodalisme di mana negara menjadi “tuan tanah” dan rakyat hanyalah penyewa di tanah mereka sendiri.
Bahasa pejabat publik bernuansa kontroverial viral lain adalah tentang nasib guru, yang gajinya dianggap sebagai beban bagi negara. Pernyataan kontroversial ini muncul dalam pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) baru baru ini.
Pernyataan ini dianggap melecehkan perjuangan guru, padahal mereka memiliki jasa yang besar bagi negeri ini, walau gajinya rendah. Isu ini memang kemudian dibantah oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro. Seperti halnya Nusron Wahid sendiri meminta maaf atas pernyataannya tersebut telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Tentu fenomena yang sama banyak diperlihatkan pejabat publik dengan gradasi yang berbeda-beda dalam publisitasnya. Dua nama pejabat publik yang disebutkan hanyalah sebagian kecil dari pejabat publik yang pernyataannya menjadi bahan perbincangan, lebih-lebih menimbulkan reaksi dari masyarakat umum sehingga viral di media sosial.
Hakikat Pejabat Publik
Tanpa mengabaikan makna klarifikasi dan permohonan maaf dari pejabat publik di atas, tentu ada pelajaran berharga dari bahasa pejabat publik di atas. Pelajaran berharga apa yang bisa ditarik di sana? Jawaban pertanyaan ini tidak terlepas dari hakikat dan kedudukan serta peran etis yang melekat dalam diri pejabat publik itu sendiri.
Tidak bisa dimungkiri bahwa kedudukan atau jabatan publik merupakan hal yang istimewa, karena jabatan demikian tidak diberikan kepada semua orang, melainkan kepada sejumlah orang tertentu yang memang memiliki tugas dan fungsi luhur dan mulia untuk mengelola kepentingan publik secara baik.
Secara lain dapat dikatakan, pejabat publik adalah orang-orang pilihan, minimal telah lolos seleksi berbagai hal termasuk seleksi kepribadian selain seleksi administratif. Pejabat publik mengemban tugas dan tanggung jawab etis dalam pelayanan masyarakat. Tujuannya adalah demi terwujudnya kepentingan masyarakat secara baik dan benar. Karena itu pula mereka yang duduk di posisi demikian adalah orang-orang terhormat, karena kepada mereka diberi kepercayaan untuk melayani masyarakat.
Haryatmoko dalam Etika Publik (2023) menyebutkan kelebihan orang yang mendapat label pejabat publik. Menurutnya pejabat publik bukan sembarangan orang. Mereka menyandang gelar pejabat publik karena mereka mendapatkan kepercayaan untuk menduduki posisi penentu dalam urusan publik. Mereka dapat dikatakan adalah orang-orang pilihan.
Sebagai orang pilihan dan yang mendapat kepercayaan, tentu dari mereka juga dituntut tanggung jawab moral baik dalam perilaku dan tindakan maupun dalam perkataan. Ini berarti apa?
PEJABAT PUBLIK HARUS MENUNJUKKAN DIRI SEBAGAI PRIBADI YANG BERKUALITAS SEJALAN DENGAN POSISI YANG DIEMBANNYA
Selain dalam perilaku tentu dalam komunikasi termasuk dalam berpidato atau berbicara di ruang publik formal atau non formal, ia harus menjaga marwah pejabat publik itu, yakni perlu memilih kata-kata yang tepat dan bernas serta menyejukkan bagi masyarakat. Yang dimaksudkan pernyataan terakhir ini tentu bukan berarti bahwa pejabat publik menunjukkan sikap ARAS (Asal Rakyat Senang). Farrel dan Gerrit menyebut pemimpin demikian dengan label nice guy leader.
Dalam bukunya In Pursuit of Ethics, Tough Choices in the World of Work (1999) Farrel dan Gerrit menunjukkan ciri pemimpin demikian pada bahasa-bahasa yang meninabobokkan masyarakat dengan kata-kata manis. Makna menyenangkan dimaksudkan bukan seperti tipe pemimpin yang disebutkan Farrel dan Gerrit, yakni nice guy leader, melainkan dalam konteks etis, tepatnya dengan pilihan kata-kata yang bermakna kebenaran dan menguguhkan hak-hak rakyat, bukan justru membuat masyarakat gusar dan cemas, apalagi menyentuh hak-hak dasar mereka.
Karena itu karakter jenis pemimpin yang menghayati peran etis itu menurut pemetaan Farrel dan Gerrit lagi adalah tough minded leader. Ciri dari model pemimpin publik demikian persis seperti dikatakan oleh Lawrence Kohlberg, yakni berfungsinya rasio secara maksimal dalam wujud kehati-hatian dalam berbicara dan keberpihakan pada nilai-nilai universal (kebenaran). Secara lain dapat dikatakan, pejabat publik perlu memperhatikan etika dalam komunikasi.
Fungsi Etis Komunikasi
Salah satu fungsi komunikasi adalah fungsi etis, termasuk di dalamnya ya itu tadi, memilih kata-kata yang tepat, ketika berbicara di depan publik. Konkretnya, pejabat publik perlu menyadari bahwa ketika berbicara di depan publik, ia justru menghadirkan diri sebagai pelayan masyarakat. Ia tidak lagi menghadirkan diri sebagai individu semata, kendati itu juga melekat dalam dirinya.
Ia juga tidak menghadirkan diri sebagai penguasa yang memaksakan kata-katanya sebagai kebenaran yang harus diakui secara mutlak oleh rakyat. Sebaliknya, ketika ia hadir sebagai pejabat publik, lebih-lebih saat berbicara, ia justru mengedepankan tanggung jawab moral.
Meminjam pandangan Emmanuel Levinas, bagi seorang pejabat publik, saat berjumpa dan berkomunikasi dengan masyarakatnya, perjumpaan itu mengandung makna etis, yakni menuntut tanggung jawab moral untuk berbuat hal yang positif bagi mereka, bukan sebaliknya. Yang dijumpai itu adalah pribadi yang meminta tanggung jawab, yang perlu dipedulikan.
Sebaliknya, ketika pejabat publik menunjukkan kekuasaannya melalui ucapan-ucapannya maka sesungguhnya Farel dan Gerrit menyebut pejabat publik seperti ini telah menunjukkan diri sebagai a tough leader.
Ciri dari pemimpin a tough leader adalah menempatkan diri sebagai penentu segala-galanya dan ucapannya pun harus diikuti oleh mereka yang berada pada tingkat yang lebih rendah daripada jabatannya, apalagi rakyatnya. Dengan kata lain, pemimpin demikian menunjukkan sikap arogan dan otoriter, termasuk melalui bahasa yang diperlihatkannya.
Pierre Bourdieu dalam bukunya Bahasa dan Kekuasaan Simbolik (2020) bahkan menunjukkan bahwa pemimpin demikian telah menggunakan bahasa sebagai ungkapan simbolik kekuasaannya.
Dalam kerangka mengeleminasi apa yang dikawatirkan oleh Farel dan Gerrit serta Pierre Bourdieu, dan memperkuat apa yang dinyatakan oleh Emmanuel Levinas tentang perjumpaan sebagai ungkapan tanggung jawab dan kepedulian, sangat tepat ide.
Maeve Mckeown dalam bukunya With Power Comes Responsibility (2025) tentang pentingnya para pejabat publik memperlihatkan tanggung jawab moral dalam menjalankan kekuasaannya, lebih-lebih karena mereka diberi amanah untuk menjalankan itu, di samping tanggung jawab politik.
Maeve menyebutkan bahwa keistimewaan pejabat publik tidak saja bahwa ia adalah orang yang dipilih dan dipercaya, tetapi juga diberi kekuatan untuk mewujudkan tanggung jawab moralnya dengan keberaniannya berpihak kepada rakyat.
Maeve bahkan menyatakan ketika seorang pejabat publik dihadapkan pada pilihan antara tanggung jawab politik (berpihak pada kekuasaan) atau tanggung jawab moral kepada rakyat, pejabat harus berpihak pada tanggung jawab moral kepada rakyat.
PEMIKIR HEBAT DARI TIMUR TENGAH, IMAM AL GHAZALI MENGISYARATKAN BAHWA POLITIK YANG BERADAB ITU JUSTRU MENJADI HARAPAN RAKYAT YANG SESUNGGUHNYA
Dalam bukunya Adab Berpolitik (2023), Imam al Ghazali mengidentifikasi politik beradab itu dalam sejumlah hal seperti hidupnya rasa keadilan dan berfungsinya akal serta mempraktikkan kesantunan di kalangan pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya. Yang mau ditekankan Imam al Ghazali sesungguhnya adalah pentingnya memperhatikan etika pejabat publik.
Perlu Kehati-hatian
Bercermin dari dua kasus yang disebutkan di atas, nampaknya kesadaran akan peran etis pejabat publik, lebih-lebih dalam berkomunikasi, perlu mendapat perhatian dari pejabat publik. Bagaimanapun seperti sudah diuraikan di atas pejabat publik akan menjadi sorotan, karena kedudukan itu. Karena itu pula apapun yang dilakukannya akan menjadi perhatian. Dalam soal berkomunikasi, tentunya bahasa yang digunakan perlu memperhatikan makna etis. Bahasa demikian sesungguhnya juga mencerminkan kewibawaan.
Seperti disebutkan di atas bahwa pejabat publik adalah mereka yang memiliki kedudukan dalam masyarakat. Karena itu pula ia harus menunjukkan wibawa dalam menjalankan kedudukannya di masyarakat, terlebih-lebih tentu dalam berkomunikasi di ruang publik. Diksi-diksi yang digunakan di ruang publik diharapkan sungguh-sungguh tepat dan mengandung kebenaran.
Singkatnya, pejabat publik dalam berkomunikasi perlu melibatkan rasio tepatnya menggunakan kata-kata tepat yang memuat rasa tanggung jawabnya terhadap masyarakat sekaligus menciptakan keadaban politik. Dengan demikian pejabat publik menghadirkan diri sebagai tough minded leader di depan masyarakat, bukan tough leader, yang buahnya adalah hadir dan hidupnya adab dalam pelayanan publik.
KECERMATAN, KEHATI-HATIAN, KECERDASAN, DAN SIKAP BIJAK ADALAH EMPAT STANDAR BAHASA ETIS YANG PERLU DALAM KOMUNIKASI PEJABAT PUBLIK.
(KS/FS/Redaksi)
Tinggalkan Balasan