Oleh ‎Wahyu Muhlis –‎ Dalam setiap persidangan pidana, terdapat simbol-simbol yang menyiratkan harapan luhur akan hadirnya keadilan, toga hitam sang hakim, palu yang diketukkan, dan pengucapan “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Namun, dalam konteks tertentu, simbol-simbol ini hanya menjadi panggung teatrikal tempat keadilan dipertontonkan namun tidak dijalankan. Fenomena ini tampak dalam sejumlah perkara tindak pidana korupsi (Tipikor), yang tak jarang berubah menjadi arena politisasi hukum. Salah satu kasus yang mencuat adalah perkara yang menjerat Tom Lembong, mantan pejabat strategis nasional yang dijatuhi vonis pidana korupsi dalam nuansa kontroversi, bias tafsir, dan dugaan intervensi kekuasaan. Kasus ini menjadi cermin buram atas hubungan yang rumit antara hukum, tafsir, dan kekuasaan.

‎Hukum pidana berpijak pada asas-asas fundamental, antara lain asas legalitas (nullum crimen sine lege), asas kesalahan (geen straf zonder schuld), asas proporsionalitas, dan asas personalisasi pertanggungjawaban. Asas legalitas menuntut bahwa tidak ada perbuatan dapat dipidana kecuali telah diatur sebelumnya dalam undang-undang.

Asas kesalahan mensyaratkan adanya unsur (mens rea) sebagai dasar pemidanaan. Namun, dalam putusan terhadap Tom Lembong, muncul persoalan serius mengenai apakah semua asas ini dijalankan secara utuh. Putusan tersebut tampak lebih condong kepada pemenuhan ekspektasi simbolik publik ketimbang kehati-hatian yuridis atas setiap elemen delik yang dituduhkan.

‎Dalam praktik hukum, terdapat berbagai pendekatan interpretasi, seperti gramatikal, sistematik, historis, dan teleologis. Dalam perkara Tipikor, idealnya hakim menggunakan kombinasi tafsir sistematik dan teleologis agar substansi pasal tidak diterapkan secara membabi buta. Sayangnya, dalam kasus Tom Lembong, tafsir yang digunakan lebih menyerupai tafsir simbolik, yakni tafsir yang bertujuan membentuk persepsi publik tentang komitmen negara dalam pemberantasan korupsi, alih-alih menegakkan keadilan substantif. Tafsir hukum bergeser dari usaha ilmiah menjadi instrumen pencitraan, dan ini membuka ruang bagi kekuasaan untuk memanipulasi putusan.

‎Tom Lembong dikenai dakwaan atas kebijakan strategis yang dia ambil dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Tindakan tersebut merupakan bentuk diskresi yang secara administratif telah melewati mekanisme legal dan konsultatif.

Namun, pengadilan memposisikan kebijakan itu sebagai penyalahgunaan wewenang, tanpa menunjukkan adanya niat jahat atau keuntungan pribadi. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang lahirnya praktik (criminalization of policy), yakni ketika keputusan administrasi dijadikan objek pidana semata karena adanya kerugian negara yang belum tentu aktual. Tafsir seperti ini mengabaikan prinsip dalam Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan perlunya kerugian negara yang nyata dan dapat dibuktikan secara langsung.

‎Di balik konstruksi hukum yang tampak rasional dan objektif, terdapat dugaan kuat bahwa perkara Tom Lembong tidak steril dari intervensi kekuasaan. Intervensi ini bisa hadir dalam bentuk tekanan kepada aparat penegak hukum, framing media, atau bahkan pengaruh dari elite politik tertentu yang memiliki kepentingan untuk menjatuhkan atau mengeliminasi pihak-pihak yang dianggap mengganggu konstelasi kekuasaan. Ketika tafsir hukum dipaksa menyesuaikan dengan kehendak politik, maka hukum kehilangan netralitasnya, dan meja hijau menjadi ruang konfirmasi atas skenario kekuasaan yang telah ditulis terlebih dahulu di balik layar.

‎Jean Baudrillard menyebut istilah (simulacra) yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, dalam bukunya tentang (Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana) dimana untuk menggambarkan realitas yang telah digantikan oleh representasi palsu. Dalam konteks hukum, tafsir hukum yang dibentuk bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menyusun narasi bahwa keadilan telah ditegakkan, padahal yang terjadi adalah manipulasi. Putusan terhadap Tom Lembong menjadi (simulacrum of justice) keadilan yang ditampilkan dalam wujud simbol, namun tidak berakar pada fakta maupun prinsip hukum. Hal ini berbahaya karena publik akan tertipu oleh kemasan, sementara korban dari tafsir tersebut menjadi tumbal demi citra institusi penegak hukum.

‎Dalam teori hukum pidana klasik, pertanggungjawaban pidana harus didasarkan pada kesalahan personal, baik dalam bentuk niat jahat (dolus) maupun kelalaian berat (culpa). Bahkan dalam pendekatan fungsional modern Claus Roxin, yang dikutip oleh Jongker, bahwa peran dan posisi terdakwa dalam struktur jabatan harus dijadikan acuan dalam menentukan tanggung jawab pidananya. Dalam kasus Tom Lembong, tidak ada bukti yang kuat bahwa ia bertindak untuk memperkaya diri, melanggar prosedur, atau memerintahkan perbuatan melawan hukum. Namun tetap dijatuhi pidana, karena tafsir hukum telah diarahkan untuk mengkonstruksi kesalahan berdasarkan posisi dan hasil kebijakan, bukan perbuatan nyata.

‎Putusan seperti dalam kasus Tom Lembong berdampak sistemik. Ia menciptakan (chilling effect) dalam birokrasi atau ketakutan bagi pejabat publik untuk mengambil keputusan inovatif. Negara kehilangan roh administratif karena setiap langkah pejabat dipenuhi kecemasan kriminalisasi. Ketika tafsir hukum tidak lagi objektif, maka setiap pejabat bisa menjadi sasaran berikutnya, tergantung siapa yang menguasai opini dan tafsir. Ini bukan lagi negara hukum, tetapi negara tafsir di mana hukum mengikuti arah angin kekuasaan.

‎Kasus Tom Lembong membuka tabir tentang wajah hukum kita hari ini. Tafsir hukum telah disulap menjadi instrumen politik yang lentur, asas hukum pidana dipinggirkan demi ambisi simbolik, dan ruang peradilan dijadikan tempat legitimasi keputusan yang telah dirancang di luar proses hukum. Ini adalah kemunduran besar bagi prinsip due process of law dan rule of law. Hukum tidak boleh tunduk pada simbol dan persepsi, karena keadilan bukan perkara citra, melainkan perkara hakikat.

‎Sudah saatnya Mahkamah Agung menyusun pedoman tafsir hukum pidana yang ketat dan progresif, terutama dalam perkara Tipikor yang menyangkut pejabat publik. Komisi Yudisial harus mengawasi independensi hakim dari tekanan kekuasaan. Akademisi hukum perlu melakukan kritik tafsir secara terbuka terhadap putusan yang cacat logika hukum. Dan rakyat, sebagai pemilik kedaulatan hukum tertinggi, harus menyadari bahwa hukum yang simbolik hanya akan melanggengkan ketidakadilan.

‎Jangan biarkan palu hakim menjadi palu kekuasaan. Jangan biarkan meja hijau menjadi altar pengorbanan keadilan. Dan jangan biarkan tafsir hukum dijadikan komoditas. Sebab jika hukum kehilangan jiwanya, maka keadilan hanyalah topeng. Dan ketika keadilan hanya sebuah topeng, maka bangsa ini sedang berpesta di atas reruntuhan nurani hukum.