Oleh: Abdul Muarif Korois, SH — Kejahatan hari ini tidak lagi lahir di jalanan gelap, tetapi di layar ponsel kita. Karuppannan Jaishankar, lewat gagasan Cyber Criminology dan Space Transition Theory, menegaskan bahwa dunia maya adalah ruang transisi: orang yang taat hukum di dunia nyata bisa berubah menjadi pelaku kejahatan ketika bersembunyi di balik layar.
Kita hidup di zaman ketika hukum, media, dan teknologi tidak lagi netral. Ketiganya justru dapat bekerja sebagai mesin industri kriminal yang beroperasi 24 jam tanpa henti. Karuppannan Jaishankar, melalui gagasan “Cyber Criminology”dan “Space Transition Theory”, mengingatkan bahwa kejahatan siber bukanlah sekadar perbuatan individu, melainkan produk industri digital yang diproduksi, dipasarkan, dan dikonsumsi masyarakat global.
Dalam kriminologi klasik, kejahatan dipahami secara konvensional: pencurian, pembunuhan, dan penipuan. Namun di dunia maya berbeda, orang yang taat hukum di dunia nyata bisa berubah menjadi pelaku kejahatan ketika bersembunyi di balik layar (pelaku cyberbullying, penyebar hoaks, predator seksual, bahkan operator kejahatan lintas negara).
Jika kejahatan adalah produk, maka media digital adalah pabriknya. Algoritma platform tidak bekerja untuk etika, melainkan keuntungan. Konten yang paling laris adalah kriminalitas, kekerasan, pornografi, kebencian, dan sensasi. Setiap klik, share, dan komentar menjadi bahan bakar mesin industri kriminal.
Sayangnya, hukum sering justru ikut menopang mesin itu. Kasus kecil yang viral cepat ditindak, sementara skandal besar yang melibatkan elite bisa menghilang. UU ITE digunakan bukan untuk memberantas cybercrime, melainkan membungkam kritik. Korporasi raksasa yang menyalahgunakan data bisa bebas, sedangkan individu kecil cepat dijerat. Hukum tidak netral; ia kerap terjebak dalam logika industri kriminal digital.
Indonesia menjadi contoh nyata. Kasus love scam lintas negara, kebocoran data jutaan penduduk di dark web, hingga kriminalisasi warganet dengan UU ITE menunjukkan betapa hukum lebih reaktif daripada proaktif. Aktivis kritis bisa dijerat pasal ujaran kebencian, sementara buzzer politik yang menyebar hoaks dibiarkan bebas.
Fenomena ini menguatkan tesis Jaishankar: “kejahatan di era siber adalah produk industri”, dan hukum sering kali menjadi bagian dari mekanismenya.
Opini saya tegas: hukum tidak bisa lagi dipuja sebagai institusi netral. Ia rentan berubah menjadi mesin legitimasi yang melanggengkan industri kriminal. Publik digiring untuk sibuk pada kriminalitas kecil, sementara kejahatan besar seperti korupsi digital, monopoli data, dan perdagangan gelap daring luput dari sorotan.
Di sinilah pentingnya kriminologi hukum untuk kembali pada peran kritisnya: membongkar struktur produksi kejahatan, menelanjangi persekutuan antara media, algoritma, pasar digital, negara, dan hukum itu sendiri.
Pertanyaan mendesak bagi kita semua: apakah hukum masih berdiri di luar mesin kriminal, atau justru sudah menjadi bagian darinya? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka tugas kriminologi hukum jelas: membongkar mesin industri kriminal dan membangun sistem hukum yang berpihak pada keadilan, bukan pada kapital, sensasi, atau kekuasaan.
Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi ilusi di atas kertas, sementara di dunia nyata ia bekerja sebagai operator industri kriminal yang merugikan rakyat banyak.
Tinggalkan Balasan