Oleh ‎Ramjun Aswad — ‎Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) merupakan norma hukum tertinggi dalam sistem perundang-undangan nasional, yang menjadi sumber legitimasi setiap produk hukum di bawahnya.

 

 

Dalam Pasal 30 ayat (2), UUD secara limitatif menegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah alat negara di bidang pertahanan yang bertugas untuk mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara.

 

 

Rumusan norma ini tidak saja mendefinisikan fungsi militer dalam konteks sistem pertahanan negara, tetapi juga sekaligus menjadi batas konstitusional yang membedakan ranah sipil dari ranah militer sebuah prinsip fundamental dalam demokrasi modern yang dikenal sebagai civil supremacy.

‎Perubahan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, terutama dalam Pasal 47 ayat (1), justru mengikis garis demarkasi tersebut. Ketentuan ini memperluas tugas pokok TNI dengan membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di instansi sipil seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, maupun lembaga negara lainnya.

 

 

Secara yuridis, ketentuan ini tidak hanya menyimpang dari mandat konstitusi, tetapi juga membuka potensi pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Ketentuan semacam itu berimplikasi pada tereduksinya supremasi sipil, dan dapat menyeret militer ke dalam ruang politik-sipil yang secara konstitusional bukan menjadi domainnya.

‎Dari perspektif hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3), UUD NRI 1945 adalah hukum tertinggi yang bersifat lex superior.

 

 

Dalam asas lex superior derogat legi inferior, norma hukum yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap ketentuan dalam Undang-Undang, termasuk Pasal 47 ayat (1) UU TNI No. 3 Tahun 2025, yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara otomatis kehilangan legitimasi dan tidak dapat diberlakukan secara sah.

 

 

Ketika norma dalam undang-undang melampaui batasan yang telah digariskan konstitusi, maka terjadi pelanggaran terhadap prinsip konstitusionalisme.

‎Lebih lanjut, dalam aspek formil, pembentukan UU TNI No. 3 Tahun 2025 juga tidak mencerminkan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pasal 5 UUP3 dengan tegas mengatur bahwa pembentukan peraturan harus memenuhi asas kejelasan tujuan, keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan kesesuaian materi muatan dengan jenis peraturan. Namun, proses penyusunan UU ini dilaporkan minim keterlibatan publik dan tidak melalui konsultasi partisipatif yang bermakna.

 

Artinya, UU TNI No. 3 Tahun 2025 mengandung cacat formil yang signifikan, di samping cacat materil dari sisi muatan norma yang bertentangan dengan konstitusi.

‎Dalam kerangka hukum tata negara, inkonsistensi antara Undang-Undang dan UUD hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme pengujian konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai guardian of the constitution, MK memiliki otoritas eksklusif untuk menyatakan suatu undang-undang atau bagian darinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila terbukti bertentangan dengan UUD NRI 1945.

 

 

Dalam hal ini, pengujian terhadap Pasal 47 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025 adalah langkah konstitusional yang mutlak diperlukan demi menjaga supremasi konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi.

‎Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa UU TNI No. 3 Tahun 2025, khususnya Pasal 47 ayat (1), telah menyimpang dari batasan konstitusional yang tegas mengenai tugas pokok TNI dan telah melanggar prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Norma tersebut bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI 1945 dan patut untuk dibatalkan melalui mekanisme judicial review.

 

Secara normatif, keberadaan ketentuan tersebut tidak hanya melemahkan prinsip civil supremacy, tetapi juga berpotensi merusak tatanan negara hukum yang konstitusional.

‎Penulis berpendapat bahwa Undang-Undang TNI No. 3 Tahun 2025 cacat secara formil karena tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai, dan cacat secara materil karena memberikan kewenangan di luar batas konstitusional TNI.

 

 

Oleh karenanya, penulis merekomendasikan agar legislasi ini ditinjau kembali secara komprehensif melalui dua pendekatan: pertama, uji materi di Mahkamah Konstitusi sebagai mekanisme pengamanan konstitusi; dan kedua, revisi legislatif yang didasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum, supremasi konstitusi, dan keterlibatan publik yang otentik.

 

Hanya dengan demikian, integritas konstitusi dan demokrasi Indonesia dapat terus dijaga secara utuh dan berkelanjutan.